Indonesia dan Australia telah menyepakati perjanjian kerja sama pertahanan yang baru, meski masih ada ketegangan terkait keputusan Pemerintah Australia untuk mengakuisisi kapal selam bertenaga nuklir.
Menteri Pertahanan Australia, Richard Marles, dan Menhan Prabowo Subianto membuat pengumuman sore ini, setelah keduanya bertemu di Canberra.
Dalam pernyataan bersama, kedua menteri mengatakan mereka telah menginstruksikan para pejabat agar memulai negosiasi untuk "meningkatkan" pakta kerja sama pertahanan yang ada di antara kedua negara menjadi "kesepakatan yang mengikat berdasarkan hukum internasional."
Mereka mengatakan perjanjian baru itu akan "meningkatkan kerja sama pertahanan di antara kedua negara yang kuat dengan mendukung peningkatan dialog, memperkuat operasi internal, dan meningkatkan pengaturan praktis".
BACA JUGA: Putin Diduga Terlibat dalam Jatuhnya Pesawat MH17
Pernyataan tersebut juga menyebut anggota militer Indonesia dan Australia di masa depan dapat diberikan akses ke sejumlah latihan secara timbal balik, serta diberikan akses yang lebih mudah untuk melakukan kegiatan militer bersama.
Kedua Menteri Pertahanan menyebut pengumuman hari ini sebagai “pesan penting dari komitmen bersama kami untuk kawasan yang menganut sentralitas ASEAN dan tujuan serta prinsip Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik, di mana kedaulatan dihormati.”
BACA JUGA: PM Italia Puji Penangkapan Penyelundup Narkoba di Bali yang Sudah Buron Tujuh Tahun
Pengumuman tersebut menandakan Indonesia tetap berkeinginan untuk terus membangun hubungan kepolisian, intelijen dan militer yang lebih dalam dengan Australia, meski hubungan bilateral dua negara pernah teruji dengan rencana kapal selam nuklir Australia.
Indonesia menanggapi rencana Australia tersebut dengan keras, saat tidak diberitahu apa-apa menjelang pengumuman AUKUS pada tahun 2021, dan telah berulang kali mengemukakan kekhawatiran jika kapal selam nuklir Australia, Inggris, dan Amerika Serikat dapat mengganggu ketenangan di kawasan.
Usai pertemuan 2+2 dengan Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri di Canberra kemarin, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan terus menekan Pemerintah Australia untuk "transparan" tentang rencananya mengakuisisi kapal selam bertenaga nuklir.
Retno mengatakan sudah "menegaskan kembali pentingnya transparansi dalam kerjasama AUKUS dan pentingnya komitmen untuk mematuhi non-proliferasi nuklir, serta komitmen untuk mematuhi Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons dan IAEA safeguards. ”
Ia juga mengatakan bahwa Indonesia "sangat khawatir akan meningkatnya persaingan" di Asia.
"Jika tidak dikelola dengan baik rivalitas tersebut dapat menjadi konflik terbuka yang sangat berdampak terhadap kawasan," ujarnya di video tersebut.
Pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh keempat Menteri membahas dengan hati-hati isu-isu seputar proliferasi nuklir, dengan mengatakan kedua negara "berkomitmen untuk memperkuat rezim non-proliferasi dan perlucutan senjata nuklir global, termasuk landasannya, Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT)".
Ini juga menyoroti kerja sama pertahanan yang lebih dalam dengan mengatakan mereka ingin terlibat "lebih jauh lagi", termasuk dalam kerja sama pengobatan militer, teknologi militer, industri pertahanan, dan mencari cara untuk mempermudah kerja sama militer.
Menlu Australia Penny Wong, mengatakan Australia akan "sangat transparan" tentang rencana kapal selam nuklirnya, "tidak hanya dengan Indonesia tetapi juga kawasan".
"Mengingat sejarah Indonesia, saya bisa mengerti mengapa mereka ingin kita transparan seputar propulsi nuklir itu."
"Ini bukan kemampuan baru secara global, tetapi kemampuan baru bagi Australia.”
Dia juga menekankan lagi bahwa Australia adalah pendukung kuat NPT dan tidak berniat memperoleh senjata nuklir.Sama-sama mengecam invasi Rusia ke Ukraina
Pernyataan bersama itu juga mencakup kecaman keras atas invasi Rusia di Ukraina, termasuk bahasa yang lebih tajam dari yang biasanya digunakan Indonesia dalam masalah ini.
Keempat Menteri "menyesalkan dengan sangat keras agresi Federasi Rusia terhadap Ukraina" dan "menuntut penarikan penuh dan tanpa syarat Federasi Rusia dari wilayah Ukraina".
"Para Menteri juga mengecam perang yang berkepanjangan dan menekankan ini menyebabkan penderitaan warga yang luar biasa dan memperburuk kerapuhan yang ada dalam ekonomi global, menghambat pertumbuhan, meningkatkan inflasi, mengganggu rantai pasokan, meningkatkan kerawanan energi dan pangan, dan meningkatkan risiko stabilitas keuangan," demikian pernyataan tersebut.
Tetapi bahasa yang digunakan untuk kasus di Myanmar lebih terukur, para menteri hanya meminta junta militer untuk "dengan cepat dan sepenuhnya mengimplementasikan Konsensus Lima Poin ASEAN", sambil menuntut "penghentian segera kekerasan" dan "penciptaan ruang untuk dialog yang bermakna untuk memungkinkan proses demokrasi untuk dilanjutkan".
Menlu Retno dan Menhan Prabowo sebelumnya mendorong kawasan untuk mengambil sikap yang lebih kuat terhadap Myanmar. Tapi kini mengambil pendekatan yang lebih hati-hati sejak Indonesia duduk di kursi Ketua ASEAN, sambil mempertimbangkan cara terbaik mengoordinasikan tanggapan bersama di kawasan terhadap krisis menjelang "pemilu" yang dijanjikan oleh junta akan digelar akhir tahun ini.
Laporan tambahan Erwin Renaldi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Sejumlah Agenda Prabowo Subianto dan Retno Marsudi yang Sedang Berada di Australia