jpnn.com, JAKARTA - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai utang luar negeri (ULN) Indonesia hampir lampu merah.
Seperti diketahui, ULN per Desember 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 38,68 persen.
BACA JUGA: BI: Utang Luar Negeri Capai USD417,5 Miliar, Masih Sehat?
"Terutama, ketika melihat kemampuan bayar utang atau debt service ratio (DSR)," ujar Bhima dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (18/2).
Dia menjelaskan, kriteria utang terhadap PDB juga perlu diperdalam dengan indikator DSR, di mana DSR tier I Indonesia terus naik melebihi 25 persen.
BACA JUGA: Utang Luar Negeri Makin Besar, DPR Minta Pemerintah Hati-hati
Di negara lain, lanjut Bhima, seperti Filipina DSR berkisar 9,7 persen, Thailand delapan persen, dan Meksiko 12,3 persen.
"Melihat perbandingan DSR, bisa dikatakan utang sudah jadi beban dan kemampuan bayar berkurang. Ini bisa dikatakan sudah hampir lampu merah," kata dia.
BACA JUGA: Sri Mulyani Yakin Pertumbuhan Ekonomi 2021 di Titik Lima Persen
Menurut dia, rasio utang pemerintah terhadap PDB juga tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jerman, dan Singapura.
"Ini ibarat mobil Esemka dibandingkan dengan pesawat Airbus, ya, tidak apple to apple, apalagi posisi Indonesia turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah. Indonesia cocoknya dibandingkan dengan sesama negara berkembang," tukas Bhima.
Lebih lanjut, Bhima menilai, porsi utang pemerintah lebih besar dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja barang. Hal itu berpotensi pada penurunan produktivitas.
"Utang yang bertambah, tetapi produktivitas turun namanya kasih beban ke generasi masa depan, generasi milenial dan generasi Z," urainya.
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, posisi utang pemerintah perlu juga dilihat dari beban bunga.
Menurut dia, IMF telah menyatakan, beban utang maksimal 10 persen dari pendapatan negara. Di sisi lain, rasio beban bunga utang Indonesia sudah 19,2 persen dari pendapatan negara (termasuk PNBP) pada 2020.
"Kalau dari penerimaan pajak, rasio beban bunga utang sudah capai sekitar 25 persen," tutur Anthony.
Dia menyebutkan, berdasarkan rasio beban bunga maka utang Indonesia dinilai sudah sangat tinggi.
"Meskipun rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60 persen," kata Anthony.
Sebagaimana diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,68 persen dan total utang yang mencapai Rp 6.074,56 triliun hingga Desember 2020 menunjukkan Indonesia masih relatif cukup hati-hati.
"Kami perkirakan (utang Indonesia) akan mendekati 40 persen dari PDB namun sekali lagi Indonesia masih relatif dalam posisi yang cukup hati-hati atau prudent," ujar Sri Mulyani, Selasa (16/2).
Ia juga membandingkan rasio utang pemerintah di negara-negara lain terhadap PDB yang masih lebih besar daripada Indonesia.
Mulai dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Prancis, Jerman, China, dan India. Tak lupa juga dengan negara-negara di ASEAN Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura.
Kemudian, menurutnya pemerintah mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan, sehingga kontraksi ekonominya cukup moderat.
Kemudian defisit APBN 2020 sebesar 6,09 persen jauh lebih kecil dibandingkan negara lain yang di atas 10 persen seperti AS yang mendekati 15 persen, dan Prancis 10,8 persen.
"Ini artinya apa? Negara-negara ini hanya dalam satu tahun utang negaranya melonjak lebih dari 10 persen, sementara Indonesia tetap bisa terjaga di kisaran enam persen," tandas Sri Mulyani. (ast/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan