Indonesia Sebaiknya Terima SWF

Jumat, 28 November 2008 – 19:02 WIB
JAKARTA - Indonesia Sebaik memanfaatkan fasilitas pendanaan dari Sovereign Wealth Funds (SWF) atau Sovereign Welfare Fund (SWF) guna menyangga gejolak ekonomi dunia terhadap IndonesiaPemilik dana surplus yang sekarang didominasi SWF dunia ketiga terutama Timur Tengah bisa dirangsang untuk berinvestasi di Indonesia.

"Dana SWF berasal dari penyisihan kelebihan penerimaan pemerintah di dunia ketiga terutama Timur Tengah, penginvestasian SWF lebih fleksibel dibanding pengelolaan devisa oleh bank sentral," kata Wakil Ketua DPD RI Irman Gusman, dalam dialog interaktif Perspektif Indonesia bertema Proyeksi Ekonomi Indonesia Tahun 2009 di Pressroom DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (28/11).

Pemerintah, harus meyakinkan dan mengajak serta membuka pintu lebar-lebar bagi mereka untuk berinvestasi di Indonesia secara aman dan mudah, ujar Irman dalam diskusi yang juga menghadirkan Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bambang Susatyo, Ninasapti Triaswati dari FE UI dan Ahmad Erani Yustika dari INDEF).

Selama ini, SFW dari negara- negara Timur Tengah, seperti Abu Dhabi, Arab Saudi, dan Kuwait juga telah berinvestasikan di portofolio seperti saham, obligasi, atau surat-surat berharga lainnya yang diterbitkan pemerintah atau swasta.

"Inilah momentum bagi Indonesia untuk mengajak mereka karena kepercayaan terhadap derivatif atau produk- produk yang berasal atau berhubungan (derive) dari atau dengan efek-efek sedang menurun,” ujarnya.

Dijelaskannya, Indonesia dan Qatar sempat menyepakati pembentukan lembaga pendanaan bersama yang disebut Qatar-Investment Fund (QIF) untuk mendanai proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia

BACA JUGA: Penahanan Danny Diperpanjang

Beberapa negara yang mempunyai cadangan devisa yang berlebih seperti China (US$ 2 triliun) juga bersiap-siap mengucurkannya ke negara kita.

Sayangnya, hingga sekarang tindak lanjutnya tidak jelas
“Karena cara pandang atau cara pikir Lapangan Banteng (Departemen Keuangan) sangat textbooks, hal-hal teknis menjadi tidak teratasi,” tegasnya.

Irman mengatakan, birokrat kita menelaah persoalan kekinian masih memakai pola berpikir lama dengan asumsi atau dasar yang sama seperti menghadapi krisis keuangan tahun 1998 yang diakibatkan sistem nilai tukar yang tidak stabil

BACA JUGA: Deklarasi Jakarta Pacu Kebangkitan Asia

Padahal, situasi dan kondisi telah berubah
“Cara berpikir kita harus out of textbooks,” ujarnya.

Pola berpikir lama dimaksud seperti mencari kembali fasilitas pendanaan dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) sebagai alternatif membiayai defisit anggaran belanja negara terkait krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) yang mengancam keuangan global

BACA JUGA: Agung Hargai SBY Tak Lindungi Besan

Demikian pula dengan alternatif menggenjot konsumsiKarena, sebesar apa pun konsumsi digenjot, tetap akan menaikkan inflasi.

“Harusnya, kita banyak memakai cara-cara yang kreatif.” Alternatifnya, mencari fasilitas pendanaan ke sumber dana bernama SWF untuk sekaligus menyangga gejolak keuangan global terhadap IndonesiaKemudian, dana-dana yang diperoleh dari SWF tersebut dimanfaatkan untuk investasi proyek pembangunan infrastruktur yang membuka lebih besar lapangan pekerjaan(Fas)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kristina Beratkan Al Amin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler