jpnn.com, JAKARTA - Seiring dengan peningkatan kapasitas produksi di level global, pasar industri baja dalam negeri semakin membutuhkan perlindungan agar tak tergerus produk impor.
Pelaku industri baja menyebut pentingnya sinkronisasi kebijakan yang berpihak kepada industri baja nasional.
BACA JUGA: Tepis Klaim Airlangga, Tegaskan Jokowi Netral di Pilkada
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, produsen baja di negara-negara berkembang tengah mengantisipasi kelebihan kapasitas baja global yang mengalami surplus terhadap kapasitas produksi hingga 700 juta metrik ton tahun lalu.
”Pada 2017, produksi crude steel secara global mencapai 1,7 miliar ton. Hampir 50 persennya berasal dari Tiongkok, sedangkan Asia Tenggara menghasilkan 1,5 persen,” ujar Airlangga, Rabu (27/6).
BACA JUGA: Misbakhun Bela Airlangga dari Tudingan PDIP soal Adu Domba
Airlangga memproyeksikan, kondisi tersebut bakal berdampak terhadap beberapa aspek. Antara lain, harga, lapangan pekerjaan, tingkat utilisasi, dan profit bagi produsen baja.
”Selain itu, berisiko terhadap keberlangsungan industri serta berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat,” tutur Airlangga.
BACA JUGA: Bu Mega Tersinggung Klaim Golkar soal Jokowi Dukung Khofifah
Di sisi lain, Amerika Serikat sebagai negara utama konsumen baja telah berencana melindungi industri baja domestiknya dengan menaikkan tarif bea masuk produk baja impor sebesar 25 persen.
Implementasi kebijakan AS itu dinilai akan memengaruhi permintaan dan penawaran di pasar baja global. Termasuk, membawa efek bagi produsen baja di negara-negara berkembang.
”Negara produsen baja utama lainnya seperti Jepang, India, dan Korea Selatan bisa saja kemudian membanjiri pasar Asia Tenggara,” papar dia. (agf/c11/fal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Genjot Kendaraan Listrik, Pemerintah Tawarkan Insentif
Redaktur & Reporter : Ragil