jpnn.com, JAKARTA - Industri baja tanah air menunggu kebijakan pemerintah untuk melakukan ekspansi, terutama terkait perlindungan terhadap produk baja lokal.
Selama ini, pertumbuhan permintaan baja di Indonesia didominasi impor.
BACA JUGA: Bea Masuk Antidumping Berlaku, Produsen Baja Paceklik Bahan Baku
President Director PT NS BlueScope ASEAN Simon Linge mengatakan, tahun lalu konsumsi baja lapis di Indonesia mengalami pertumbuhan.
’’Sayang, dominasi produk impor sebanyak 53 persen,’’ ujarnya di pabrik PT NS BlueScope Indonesia, Rabu (30/1).
BACA JUGA: Ekspor Baja Indonesia ke Malaysia Bakal Lebih Efisien
Konsumsi baja lapis di Indonesia pada 2017 mencapai 1,919 juta ton.
Angka tersebut tumbuh 15 persen jika dibandingkan dengan konsumsi baja lapis pada 2016 sebanyak 1,654 juta ton.
BACA JUGA: Krakatau Steel Pangkas Baja Impor untuk Otomotif
Potensi pertumbuhan itu kian besar. Sebab, saat ini marak pembangunan proyek infrastruktur serta perubahan tren pembangunan rumah menggunakan rangka baja ringan.
’’Bukannya takut berkompetisi. Tetapi, menyayangkan mereka tidak masuk melalui perdagangan yang adil atau dumping dan tidak sesuai dengan standar produk,’’ jelasnya.
Sebanyak 84 persen produk impor yang masuk Indonesia berkualitas di bawah standar.
Menurut Simon, saat ini beberapa negara memang mengalami kelebihan pasokan. Misalnya, Tiongkok.
Dengan kapasitas produksi 90,200 juta ton, konsumsi baja mereka hanya 47,859 juta ton.
Begitu pula halnya dengan beberapa negara lain. Misalnya, Taiwan dan India.
’’Inilah yang menyebabkan mereka melakukan dumping,’’ terang Simon.
Karena itu, pihaknya tengah mengajukan revisi SNI lapisan aluminium seng ke Kementerian Perindustrian.
Selama ini, SNI lapisan aluminium seng untuk eksterior mengacu AZ 70.
Sementara itu, SNI lapisan aluminium seng untuk interior mengacu AZ 50. Pihaknya akan mengajukan untuk dua SNI tersebut menggunakan acuan AZ 100. Itu sesuai yang selama ini diterapkan pemerintah Australia.
Berdasar data yang dimiliki, sejak Oktober 2015, produk baja ringan di Indonesia dengan lapisan AZ 50 ke bawah meningkat hampir 300 persen.
’’Hal itu sangat bertentangan dengan uji coba yang pernah kami lakukan bahwa untuk membuat suatu rangka baja tidak dianjurkan dengan menggunakan material berlapis di bawah AZ 70. Jika tidak dikontrol, hal ini dapat mendistorsi masyarakat,’’ papar VP Marketing PT NS BlueScope Indonesia Sally Sandel.
Akibatnya, banyak bangunan yang menggunakan rangka baja di bawah standar akhirnya roboh.
Sementara itu, PT NS BlueScope Indonesia memiliki kapasitas produksi baja lapis aluminium seng 250 ribu ton per tahun.
Bahan baku berupa CRC (cold rolled coil) yang terbesar dipasok PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Itu membuktikan bahwa Indonesia mampu memiliki industri baja terintegrasi.
Manager Corporate Communication PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Eko Dumadi mengatakan, pasokan CRC ke BlueScope setiap tahun berkontribusi seperenam dari produksi KS.
’’Pada tahun lalu, total produksi CRC kami mencapai 660 ribu metrik ton. Sedangkan pasokan ke BlueScope bisa sepuluh ribu metrik ton per bulan,’’ ungkapnya. Produksi pada 2017 naik jika dibandingkan dengan 2016. (vir/c4/fal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Industri Baja Masih Terkendala Bahan Baku
Redaktur & Reporter : Ragil