Industri Hasil Tembakau Merugi, Penerimaan Negara Bakal Terancam

Selasa, 01 Oktober 2024 – 12:38 WIB
Industri hasil tembakau merugi karena dampak dari pasal-pasal bermasalah yang tercantum di dalam PP Kesehatan, penerimaan negara pun bakal terancam. Foto/Ilustrasi: Bea Cukai.

jpnn.com, JAKARTA - Cukai hasil tembakau (CHT) dari industri hasil tembakau (IHT) tercatat mencapai Rp 213 triliun.

Namun, angka itu berpotensi mengalami penurunan karena dampak dari pasal-pasal bermasalah yang tercantum di dalam regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan), serta wacana pengesahan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik (RPMK Tembakau) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

BACA JUGA: Kemenkes Banjir Protes soal Aturan Tembakau, Ini Sebabnya

Aturan itu dinilai mengancam roda perekonomian negara karena di dalamnya berisi standardisasi kemasan polos, pelarangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter, hingga pembatasan iklan produk tembakau.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan kebijakan kemasan polos membuat downtrading akan terjadi.

BACA JUGA: Tolak Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Buruh Bakal Turun ke Jalan 

Sebab, tidak ada perbedaan, pemisahan rokok satu dengan lainnya, orang akan cari yang harganya murah saja.

"Di sini ada celah bagi rokok ilegal karena mudah meniru kemasan rokok legal. Saya sampaikan dampaknya secara general, yaitu kehilangan sebesar Rp 213 triliun. Tanya ke Pak Prabowo, apakah mau kehilangan Rp 213 triliun?” ujar Andry dikutip, Selasa (1/10).

BACA JUGA: Dinilai Merugikan Industri & Negara, Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Diprotes

Riset INDEF mencatat dampak ekonomi yang hilang bila penerapan ketiga pasal bermasalah tersebut mencapai Rp 308 triliun atau setara 1,5 persen dari PDB.

Negara juga berpotensi kehilangan sampai Rp 160,6 triliun penerimaan perpajakan, termasuk potensi tenaga kerja terdampak yang mencapai 2.293.957 penduduk bekerja.

Untuk itu, Andry mendorong aturan-aturan tersebut untuk ditelaah kembali dengan memastikan pelibatan seluruh pihak, termasuk pemangku kepentingan yang terdampak.

"Karena lebih jauh, situasi ini akan berdampak pada turunnya permintaan produk legal sebesar 42,09 persen," ucapnya.

Hal ini pun akan membawa efek domino terjadinya penurunan produksi, yang dapat berujung pada penurunan cukai negara hingga terkikisnya peluang lapangan kerja.

Menurut Andry, berdasarkan kalkulasi INDEF jika kemasan polos diterapkan, penerimaan cukai akan hilang sebesar Rp 96 triliun.

Pelengkapan pita cukai yang dilekatkan sebagai pembeda legal dan ilegal juga akan berubah menjadi memutar karena tidak boleh menutupi gambar akan menjadi celah terhadap produsen rokok ilegal.

"Penerimaan negara bisa hilang dari sana. Rokok ilegal murah, menjadi pilihan,” kata Andry.

Selain itu, situasi ketenagakerjaan di masa ini juga perlu menjadi perhatian pemerintah.

Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, jumlah masyarakat yang mengalami pemutusan hubungan kerja hingga September 2024 mencapai hampir 59.000.

Jumlah ini jauh lebih tinggi dari angka tenaga kerja yang mengalami PHK pada Januari hingga November 2023, yakni sebesar 57.923 pekerja.

Melihat situasi ini, Andry menekankan pentingnya perumusan regulasi yang tetap mempertimbangkan aspek ekonomi.

Optimalkan Penerimaan Negara

Seperti diketahui, pemerintah saat ini sedang berfokus pada upaya pencarian pendapatan dan penerimaan negara untuk menyambut pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan segera dilantik pada Oktober 2024 mendatang.

Secara terpisah, Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono juga menyebutkan bahwa pemerintahan baru akan memaksimalkan pendapatan dari pajak, dan salah satu yang akan diupayakan yakni melalui penarikan pajak perusahaan multinasional.

“Sistem pajak tradisional yang selama ini diterapkan tak bisa menarik pajak dari perusahaan multinasional. Hasilnya, terjadi ketidakseimbangan antara keuntungan yang mereka hasilkan dengan di mana mereka membayar pajak. Hal ini membuat beberapa negara, terutama negara berkembang dalam kondisi yang tak diuntungkan,” ujar Thomas, Kamis (24/09).

Kondisi ini menggambarkan pentingnya upaya menjaga momentum dalam mempertahankan kestabilan ekonomi di masa-masa transisi pemerintahan. Pendapatan negara, baik dari cukai maupun pajak diharapkan bisa mencapai target Rp3.005,1 triliun pada 2025 mendatang.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan warisan utang dari pemerintahan sebelumnya yang mencapai Rp 1.350 triliun, sehingga bentuk-bentuk penarikan pajak dari berbagai sektor dan penerimaan cukai akan menjadi sumber pendapatan negara yang diutamakan. (mcr10/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler