Industri Islamofobia

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 21 Desember 2022 – 20:01 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Majelis Hakim memvonis terdakwa Farid Ahmad Okbah tiga tahun penjara karena kasus tindak pidana terorisme.

Keputusan tersebut dijatuhkan majelis hakim dalam sidang digelar di Pengadilan Negeri  Jakarta Timur pada Senin (19/12).

BACA JUGA: Islamofobia

Pengacara terdakwa menganggap keputusan ini tidak adil dan menganggap ada unsur ketakutan terhadap Islam dalam keputusan ini.

Ketakutan terhadap Islam, atau islamofobia, menjadi isu yang terus-menerus diperdebatkan, baik di level Indonesia maupun di level internasional.

BACA JUGA: Amerika Insaf, Saatnya Muslim Bersatu Melawan Islamofobia

Di Eropa dan di Amerika masih sangat sering terjadi tindakan yang dianggap diskriminatif terhadap seseorang yang beragama Islam. Tindakan ini secara umum disebut sebagai islamofobia.

Di Indonesia isu islamofobia selalu muncul setiap kali terjadi kekerasan yang berkaitan dengan Islam.

BACA JUGA: PPP Minta Penyidikan Khilafatul Muslimin Tidak Timbulkan Kesan Islamofobia

Pengadilan terhadap Farid Okbah ini pun kembali memunculkan isu mengenai islamofobia.

Dalam pernyataan setelah keputusan, pengacara Farid Okbah menegaskan bahwa keputusan itu menjadi bukti adanya islamofobia.

Farid Okbah ditangkap  Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror November 2021 di wilayah Bekasi, Jawa Barat.

Bersama Farid Okbah ditangkap pula Anung Al-Hamat dan Ahmad Zain An-Najah.

Ketiganya ditangkap di lokasi dan waktu yang berbeda-beda. 

Ketiga orang itu ditangkap karena dugaan keterkaitan dengan organisasi Jamaah Islamiyah yang terlarang.

Terorisme, radikalisme, intoleranisme, selalu dikaitkan dengan agama, terutama Islam.

Pengadilan terhadap tindak terorisme sering menjadi pengadilan terhadap agama, dan seolah menjadikan agama sebagai terdakwa.

Ketua PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir menyayangkan adanya pandangan yang melihat bahwa agama adalah sumber radikalisme.

Urusan radikalisme, terorisme, intoleransi, dan kekerasan banyak dikaitkan dengan agama dan umat beragama. Agama malah disebut produk impor layaknya barang dagangan.

Agama dan umat beragama seolah jadi terdakwa.

Agama dianggap sumber radikalisme dan benih konflik yang membelah warga bangsa.

Akibatnya di Indonesia mulai tumbuh pandangan kuat, janganlah membawa-bawa agama di ruang publik.

Simpanlah agama di ranah domestik.

Sementara ranah politik, etnik, kedaerahan, dan segala atribut lain ketika bermasalah dianggap biasa dan bukan sumber kegaduhan.

Padahal, karena soal politik rakyat terbelah, gedung dibakar, konflik mengeras, dan kehidupan gaduh.

Orang mengelompok dengan fanatik dalam referensi etnik atau kedaerahan tak disebut eksklusif dan intoleran.

Kelompok bersenjata di Papua yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia melakukan kegiatan kekerasan yang masuk dalam kategori terorisme. 

Akan tetapi, kelompok itu disebut sebagai ‘’kelompok kriminal bersenjata’’ seolah kegiatan mereka adalah kegiatan kriminal yang sama dengan perampokan atau pembegalan.

Haedar Nashir mengingatkan bahwa arus utama umat beragama di negeri ini pun sungguh moderat, damai, toleran, dan berkemajuan.

Agama dan umat beragama harus dilihat secara komprehensif, tidak parsial dengan nada sarat dakwaan.

Tidak perlu juga dipolitisisasi secara ekstrem, seolah agama dan umat beragama sebagai sumber masalah.

Tampaknya, terdapat kecenderungan yang menguat di sebagian elite, pakar, dan warga bangsa tentang alam pikiran sekuler yang bersenyawa dengan proses demokratisasi dan hak asasi manusia yang liberal sebagaimana pandangan hidup masyarakat Barat yang berbasis pada humanisme-sekuler. 

Muncullah ketakutan terhadap Islam yang kemudian dijadikan sebagai industri besar.

Ketakutan dan prasangka Barat terhadap Islam adalah dagangan yang menarik untuk dijual terus-menerus.

Pengeboman menara kembar WTC di New York 11 September 2001 menjadi tonggak awal munculnya ketakutan terhadap Islam yang kemudian menjadi industri, barang dagangan, sebagaimana disinyalir Haedar Nashir.

Umat Islam Amerika dan dunia secara keseluruhan serta merta merta menjadi tertuduh dan terdakwa.

Upaya rekonsiliasi untuk memberikan pemahaman bahwa Islam adalah agama damai tidak memperoleh hasil yang instan.

Kecurigaan terhadap Islam memuncak.

Sebuah insiden terjadi pada Mei 2010 ketika muncul berita tentang rencana dibangunnya sebuah masjid besar di bekas reruntuhan pengeboman Menara Kembar New York.

Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk meyakinkan publik Amerika bahwa mayoritas umat Islam mengutuk serangan teror itu.

Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya.

Berita itu membangkitkan kenangan buruk Amerika mengenai ulah terorisme Muslim.

Reaksi pun meluas.

"Islam telah menyerang kita," begitu kalimat yang digunakan sebagai iklan-publik industri islamofobia.

"Kini mereka hendak menancapkan kekuatannya persis di pusat peradaban kita. Mengapa harus kita biarkan?"

Iklan untuk menggoreng sentimen ini dilakukan oleh media massa, termasuk melalui radio dan televisi.

Fox News milik Rupert Murdoch menjadi bagian penting dari operator industri itu.

Selama 3 bulan sejak berita mengenai pembangunan masjid raksasa itu mencuat, media-media itu melakukan kampanye masif untuk menolak dengan mengumpulkan puluhan komentator.

Sebagian besar berupa komentar panas, yang mulai membakar sentimen lebih luas.

Acara-acara mingguan di televisi dan radio di seputar isu itu--yang digemakan kembali melalui koran-koran dan majalah yang berjajaring dengan Fox--telah menghasilkan USD 2 juta perolehan iklan.

Karena kesuksesan ini, Fox News akhirnya dikontrak untuk memperpanjang acara-acara pembakaran sentimen anti-Islam pada tahun-tahun berikutnya.

Hal itu menjalar ke Eropa.

Industri islamofobia di Eropa menjangkau pasar yang makin lama makin luas.

Sentimen islamofobia di Eropa akhirnya juga melahirkan generasi baru politik kanan anti-Islam dan rasisme yang lebih radikal, ketimbang yang terjadi di Amerika.

Prasangka dan kefanatikan yang lebih parah berkembang pesat.

Industri ini bisa dikatakan sebagai industri rasisme baru. 

Council on American-Islamic Relations (CAIR) dan University of California mengeluarkan laporan bersama terkait industri islamofobia.

Menurut laporan tersebut, lebih dari USD 200 juta dihabiskan untuk mempromosikan ketakutan dan kebencian terhadap Muslim di AS antara 2008 hingga 2013.

CAIR juga mengidentifikasi 74 kelompok yang mendanai dan memupuk islamofobia di Amerika.

Mereka termasuk kelompok feminis, Kristen, Zionis dan organisasi media terkemuka.

Industri ini menghasilkan jutaan dolar per tahun dari mempromosikan islamofobia.

Mereka sering menampilkan diri sebagai ahli pada urusan Islam padahal mereka bukan ahlinya. Demikian pernyataan CAIR.

Kelompok ini menciptakan lingkungan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat AS.

Mereka mengklaim umat Islam bukan bagian dari masyarakat AS dan muslim tak akan pernah bisa menjadi warga negara yang setia, karena kesetiaan muslim hanya diberikan kepada agamanya.

CAIR menyebutkan bahwa islamofobia memaparkan dua bahaya utama, yakni peningkatan kejahatan dan munculnya undang-undang anti-Islam.

Di Florida terjadi peningkatan kejahatan berdasarkan kebencian terhadap muslim sebanyak 500 persen.

Banyak masjid telah dirusak dan ada sejumlah ancaman bom terhadap kelompok-kelompok Islam.

Pemerintah Florida bahkan melarang buku-buku sekolah yang memuat referensi apa pun mengenai Islam dalam sejarah.

Islamofobia telah menjadi industri besar.

Di Indonesia pun ada kecenderungan ketakutan terhadap Islam dibesar-besarkan untuk mendapatkan anggaran yang makin besar.

Tindak kriminal kecil—seperti perempuan membawa pistol di halaman Istana Negara—diamplifikasi oleh media sebagai tindakan teror besar yang mengancam eksistensi negara.

Ketakutan yang difabrikasi itu telah melahirkan industri yang menyedot anggaran triliunan rupiah.

Itulah salah satu alasan mengapa Islamofobia harus terus-menerus dihidupkan. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler