jpnn.com - Islamofobia, atau ketakutan terhadap Islam, tidak ada di Indonesia.
Itu kata Menko Polhukam Mahfud MD.
BACA JUGA: Amerika Insaf, Saatnya Muslim Bersatu Melawan Islamofobia
Pemerintah Indonesia tidak takut kepada Islam, buktinya, orang-orang Islam diberi kebebasan untuk berkipah dan berkarier di mana pun, termasuk di pemerintahan.
Mahfud mengungkapkan hal itu dalam acara ‘’Imaji Satu Abad Indonesia’’ di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (26/7).
BACA JUGA: PPP Minta Penyidikan Khilafatul Muslimin Tidak Timbulkan Kesan Islamofobia
Hal itu kemudian memantik respons dari pegiat media sosial Said Didu, yang langsung menyergah dengan mengadakan bahwa islamofobia ada di Indonesia.
Buktinya, orang-orang yang membuat pernyataan kebencian terhadap Islam dibiarkan bebas oleh pemerintah.
BACA JUGA: Sudah Tahu Kapan Hari Melawan Islamofobia yang Ditetapkan PBB?
Said Didu tidak menyebut nama.
Mahfud MD membalas dengan mengatakan bahwa kalau ada yang menyebut celana cingkrang dan cadar adalah kadrun, itu bukan pemerintah, tetapi perorangan.
Mahfud kemudian menyebut nama Abu Janda sebagai salah satu pegiat media sosial yang sering melemparkan pernyataan yang menyerang kelompok yang disebut sebagai kadrun.
Abu Janda atau Permadi Arya juga merespons pernyataan Mahfud.
Abu Janda mengatakan bahwa hanya orang tidak waras yang percaya ada islamofobia di Indonesia.
Abu Janda mengatakan bahwa yang dia lakukan adalah mengritik orang-orang yang melakukan praktik intoleransi.
Akan tetapi, sebagai balasannya dia dituduh terjangkit islamofobia.
Jadi, simpul Abu Janda, islamofobia adalah narasi yang dipakai untuk menghalangi orang-orang yang mengkritik intoleransi seperti dirinya.
Menurut Mahfud MD islamofobia ada di Indonesia di era Orde Baru.
Salah satu contohnya adalah kebijakan Menteri Pendidikan Daud Yusuf yang melarang siswa sekolah mengenakan jilbab.
Contoh fragmentaris yang diajukan Mahfud itu tentu tidak memadai dan tidak bisa dijadikan bukti ada atau tidaknya islamofobia di era Orde Baru.
Pun pula ketika Mahfud menunjukkan bukti-bukti bahwa tidak ada islamofobia di era Jokowi, hal itu tidak cukup untuk menjadi bukti ada atau tidaknya islamofobia.
Era ororitarian Presiden Soeharto dan era populisme ala Jokowi mempunyai pola masing-masing dalam hubungannya terhadap Islam politik.
Soeharto memanfaatkan kekuatan Islam untuk menghancurkan gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) setelah kudeta yang gagal pada 1965.
Ketika itu Islam menjadi satu-satunya kekuatan yang bisa diandalkan untuk menghancurkan PKI.
Seperti kata Mao Zedong, ‘’Power grows out of the barrel of the gun’’, kekuasaan lahir dari mesiu senapan, Soeharto membangun kekuatan politik dengan memakai mesiu senapan ABRI.
Dengan kekuatan senjata Soeharto merebut kekuasaan dan mengonsolidasikannya.
Setelah berhasil menghancurkan PKI dan mengonsolidasikan kekuatan politik, Soeharto segera berpaling dari Islam dan menganggapnya sebagai ancaman serius bagi kekuasaannya.
Upaya aktivis Islam untuk menghidupkan Partai Masyumi tidak diizinkan oleh Soeharto.
Para pembantu terdekat Soeharto memprakarsai gerakan intelijen untuk menghancurkan kekuatan Islam politik.
Salah satu yang paling legendaris adalah perburuan terhadap anggota-anggota organisasi Komando Jihad, sebuah organisasi yang diduga diciptakan oleh intelijen untuk mendiskreditkan Islam politik.
Paruh pertama kekuasaan Soeharto ditandai dengan kebijakan yang sangat represif terhadap Islam.
Soeharto memanfaatkan ABRI sebagai tulang punggung kekuasaannya sekaligus sebagai kekuatan untuk meredam Islam politik.
Soeharto ialah maestro dalam menjaga keseimbangan politik.
Dia menjaga semua kekuatan-kekuatan politik supaya tetap berada pada kontrolnya.
Situasi berubah pada 1990-an ketika ABRI mulai gerah terhadap kebijakan Soeharto, terutama setelah anak-anak Soeharto berbisnis dan mendapatkan banyak konsesi dan monopoli.
Soeharto dengan cepat mengendus perubahan sikap ABRI itu.
Maka Soeharto segera berpaling kepada Islam dan memainkan kartu lama untuk menjaga keseimbangan.
Di lingkungan ABRI pun terjadi faksionalisasi dengan munculnya ‘’ABRI Hijau’’ dan ‘’ABRI Merah Putih’’.
Soeharto kemudian mengizinkan berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di bawah kepemimpinan B.J Habibie.
ICMI pun menguasai birokrasi sehingga disebut sebagai ‘’birokrasi ijo royo-royo’’.
Pepatah politik mengatakan, ‘’You can do anything with bayonet except sit on it’’, kamu bisa melakukan apa saja dengan bayonet kecuali duduk di atasnya.
Soeharto akhirnya tidak bisa mempertahankan kekuasaannya dengan ujung bayonet, dan akhirnya terguling oleh Gerakan Reformasi 1998.
Pada separuh era Pemerintahan Soeharto, Islam dimarjinalisasi, dan pada separuh masa kekuasaan berikutnya Soeharto memberi ruang gerak yang lebih luas kepada Islam.
Soeharto menunjukkan ekspresi keislaman dengan berangkat haji dan menciptakan peraturan dan lembaga-lembaga keislaman seperti Bank Muamalah.
Pemerintah otoriter selalu menciptakan ‘’hantu’’ yang dijadikan sebagai musuh bersama, sekaligus menjadi justifikasi untuk melanggengkan kekuasaan.
Soeharto memainkan hantu komunisme untuk mendapatkan legitimasi dari kalangan Islam.
Setelah itu Soeharto ganti menjadikan Islam sebagai hantu dan memburunya untuk kepentingan konsolidasi kekuasaan.
Diktator Filipina Ferdinand Marcos juga mamainkan isu hantu komunis untuk melanggengkan kekuasaannya.
Pemberontakan perwira yang dianggap berafiliasi dengan komunis, seperti Kolonel Gringo Honasan, dijadikan dalih untuk menerapkan kondisi darurat.
Marcos, sebagaimana Soeharto, akhirnya jatuh oleh people power Revolusi EDSA, 1986.
Di negara biang demokrasi seperti Amerika pun pernah muncul histeria nasional untuk membuat rakyat takut terhadap kekuatan tertentu.
Bagi negara kapitalis liberal seperti Amerika, isu komunisme menjadi dagangan yang sangat laris untuk dijual.
Muncullah Senator Joseph McCarthy pada 1950 yang mengatakan bahwa dia punya data mengenai 200 orang pegawai Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang tercatat sebagai anggota partai komunis.
McCarthy menyerukan perang melawan komunisme dan menimbulkan ketakutan nasional yang meluas.
McCarthy mengatakan bahwa Departemen Luar Negeri sudah dibajak dan disusupi kekuatan komunis, karena itu kebijakannya harus diwaspadai.
Sejak itu ketakutan terhadap komunisme menjadi histeria nasional, dan McCarthy menjadi salah satu politisi yang paling terkenal di seluruh negeri.
Data McCarthy tidak pernah dibuka ataupun diverifikasi.
Data itu juga seringkali naik turun, kadang ia menyebut angka lebih rendah, kadang lebih tinggi.
Akan tetapi, gaya oratoris McCarthy yang meyakinkan membuat publik percaya.
Dia melambai-lambaikan selembar kertas ketika berbicara, dan menyebut daftar itu ada di tangannya.
Data itu tidak pernah ada, tetapi histeria sudah telanjur terjadi.
Ketakutan terhadap hantu komunisme yang tidak berdasarkan data riil itu disebut sebagai McCarthy-isme, karena banyak ditiru oleh politisi lain tanpa verifikasi.
Kasus ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia, ketika sejumlah politisi menyebut adanya big data yang berisi daftar ratusan juta orang yang menghendaki Joko Widodo diperpanjang masa jabatannya.
Data itu tidak pernah dibuka dan tidak pernah diverifikasi, tetapi wacana tiga periode terus menggelinding.
Jokowi ialah presiden populis yang mendapat dukungan dari banyak rakyat Indonesia.
Populisme itu cenderung dipakai untuk melegitimasi tindakan yang tidak demokratis.
Pengamat politik Australia, Marcus Mietzner bahkan menyamakan populisme Jokowi dengan populisme Donald Trump, Jair Bolsonaro, Victor Orban, Tayyep Erdogan.
Dalam panggung dramaturgi wajah depan Jokowi adalah seorang demokrat, tetapi di panggung belakang terlihat wajah lain yang oleh John Kean disebut sebagai ‘’new despotism’’.
Pemerintahan Jokowi menjadikan Islam politik sebagai hantu yang diburu bersama-sama dan dijadikan sebagai histeria nasional.
Dengan alasan hantu Islam itu, Jokowi membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam), tanpa melalui sidang pengadilan.
Perburuan terhadap para tersangka teroris dan persekusi terhadap radikalisme dan intoleranisme menjadi hantu yang dihidupkan untuk menjustifikasi tindakan yang tidak demokratis.
Sebutlah itu islamofobia atau bukan, tetapi ‘’what is in the name?’’ Apa arti sebuah nama, kalau dalam esensinya adalah menghantukan politik Islam. (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror