Industri Jasa Ekspedisi Terhambat Regulasi

Jumat, 08 Desember 2017 – 03:23 WIB
TIKI: Salah satu penyedia jasa pengiriman barang yang ikut ketiban rezeki saat ramadan. Foto: Radar Banjarmasin/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pembangunan beragam infrastruktur di berbagai daerah memang bisa menunjang bisnis jasa pengiriman.

Namun, sejauh ini belum diikuti regulasi yang mendukung. Salah satunya terkait dengan regulated agent di bandara.

BACA JUGA: SMI Kucurkan Pinjaman Rp 2,77 Triliun ke Pemda

Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) Jatim Djohan mengapresiasi pembangunan infrastruktur seperti tol.

Di Jatim, ada beberapa ruas tol yang telah diresmikan.

BACA JUGA: Ingat, Infrastruktur Indonesia Not for Sale!

”Adanya tambahan ruas jalan tol baru tersebut bisa memperlancar arus distribusi,” ujar Djohan, Rabu (6/12).

Namun, kendala utama yang dihadapi pebisnis jasa pengiriman ialah regulasi. Misalnya, soal regulated agent di bandara.

BACA JUGA: Tak Ada Negara Maju tanpa Infrastruktur Mumpuni

Sejak 2–3 tahun lalu, Bandara Juanda menggunakan regulated agent yang memastikan barang tersebut aman dikirim dengan menggunakan jasa udara.

”Namun, yang terjadi, ada penambahan biaya (untuk pengecekan barang) sehingga menjadi tidak efisien,” ungkap Djohan.

Tahapan yang berlapis juga membuat proses pengiriman lebih panjang.

”Hingga kini masih menjadi perdebatan. Bukan hanya Asperindo yang menolak, tapi juga perusahaan forwarder,” kata Djohan.

Sebagaimana diketahui, regulated agent diatur oleh Kementerian Perhubungan.

Di sisi lain, Asperindo berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Harus lintas kementerian untuk mendapatkan solusi atas persoalan tersebut.

Selain itu, sejak setahun terakhir, segala bentuk perizinan hingga evaluasi dilakukan secara terpusat. Padahal, dulu cukup ditangani di daerah sesuai skala usahanya.

”Kami tidak lagi di bawah wewenang dinas komunikasi dan informatika pemerintah daerah setempat,” ungkap Djohan.

Akibatnya, keinginan perusahaan jasa pengiriman untuk menekan berbagai kendala di daerah tidak terakomodasi secara maksimal.

 ”Misalnya, untuk mengurus perizinan, harus ke pusat. Dulu, bila usahanya city courier yang skalanya dalam kota, izin cukup diajukan ke dinas kota/kabupaten setempat,” tutur Djohan.

Belum lagi, tambahan biaya yang dikenakan pada perusahaan jasa pengiriman.

”Kami dikenai biaya kontribusi yang besarannya seperempat persen dari net profit,” kata Djohan.

Menurut dia, berbagai kebijakan yang menghambat tersebut perlu dikaji lagi.

Harapannya, bisa mendukung perkembangan industri jasa pengiriman ke depan. (res/c7/fal)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Proyek Infrastruktur Angkat Penjualan Truk Berat


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler