Industri Kecil Terancam Bangkrut akibat Ratifikasi FCTC

Selasa, 01 Oktober 2013 – 20:51 WIB

jpnn.com - JAKARTA--Kementerian Kesehatan diminta tidak ngotot meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO. Menurut peneliti Indonesia for Global Justice Salamuddin Daeng menuturkan, pasal-pasal dalam FCTC jika diratifikasi akan membawa konsekuensi besar terhadap ekonomi tembakau pada tingkat nasional.

Dia menjelaskan, kebijakan kontrol tembakau melalui sisi permintaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6-7 FCTC. Pasal itu mengatur tentang kebijakan pajak dan harga, serta non-harga untuk mengurangi permintaan terhadap tembakau akan berbentuk kebijakan kenaikan pajak, kenaikan cukai sebagai cara meningkatkan harga rokok.

BACA JUGA: Gelar Kontes Pengetahuan tentang Singapura di Social Media

Padahal kebijakan kenaikan pajak atau cukai tembakau akan berimplikasi langsung terhadap kebangkrutan industri kecil. Cukai tembakau merupakan komponen biaya terbesar dalam industri tembakau yang harus dibayarkan sebelum berproduksi.

Kemudian di Pasal 9-10 FCTC yang mengatur tentang aturan dan keterbukaan kepada publik, kandungan/komposisi produk tembakau dapat menjadi regulasi yang memberatkan bagi industri rumahan tembakau.

BACA JUGA: Pimpin BKPM, Mahendra Janji Pangkas Perizinan Investasi

"Dibutuhkan biaya yang sangat besar bagi uji laboratorium, dan biaya lainnya yang harus dibayarkan pada instansi berwenang dalam menilai kandungan bahan bahan dalam rokok. Persyaratan ini akan sangat melelahkan bagi industri kecil dan menengah," jelas Salamudin Daeng dalam keterangan persnya, Selasa (1/10).

Dia menjelaskan, Pasal 17 FCTC tentang mengendalikan sisi suplai tembakau melalui kegiatan ekonomi alternatif merupakan pasal yang selama ini telah menuai protes dari kalangan petani tembakau nasional.

BACA JUGA: September Terjadi Deflasi, SBY Sebut Kabar Baik

Alhasil, jika pasal ini diberlakukan, otomatis para petani akan kehilangan sumber pendapatannya. Bagi kalangan industri nasional pasal ini sangatlah membahayakan mengingat tidak adanya pasokan tembakau dari petani dalam menghasilkan kretek maka akan menimbulkan konsekuensi impor.

"Padahal impor dikendalikan kartel internasional yang harganya tidak menentu. Selain itu tembakau-tembakau impor akan mengubah citarasa dari produk yang dihasilkan oleh industri nasional," tandasnya.

 Salamudin menjelaskan,  proyek global anti tembakau telah muncul sejak awal tahun 1990-an dan menjadi agenda resmi organisasi kesehatan dunia WHO yang meluncurkan  proyek prakarsa bebas tebakau 1998.

Dia menjelaskan, FCTC masuk ke dalam hukum nasional negara melalui ratifikasi menjadi UU dan menyusup ke dalam UU sektoral di banyak negara. Proyek anti tembakau sebagian besar dibiayai perusahaan farmasi multinasional  seperti Pharmacia & upjhon, Novartis, Glaxo wellcome yang sangat aktif mendani WHO melalui proyek parakarsa bebas tembakau.

Proyek ini memperoleh dukungan dari badan-badan dunia lainnya seperti IMF, World Bank, badan-badan dibawah PBB lainnya, LSM bloomberg Initiatives dan kalangan universitas.

Dia mengingatkan, bagi perusahaan multinasional atau pemerintahan negara-megara maju, adopsi atau ratifikasi FCTC tidak akan banyak membawa pengaruh terhadap ekspansi bisnis, mengingat perusahaan multinasional dan negara-negara maju memiliki instrument perlindungan Internasional yang lain yang mungkin dapat digunakan secara efektif untuk mendukung operasi mereka secara internasional, regional. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan Dorong Garuda Beli Pesawat Buatan Anak Negeri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler