Industri Sawit Tolak Bea Keluar CPO

Rabu, 07 September 2011 – 08:47 WIB
JAKARTA  -  Kebijakan bea keluar (BK) produk  minyak sawit mentah (CPO) terus ditentangKemarin, Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) bersama stakeholder industri minyak sawit mentah (CPO) menolak kebijakan BK  itu, dan meminta pemerintah untuk meninjau kembali serta merevisi kebijakan tersebut.

“Sebenarnya tidak ada perubahan signifikan dalam skema dan tarif BK sekarang dengan sebelumnya

BACA JUGA: Industri Sawit Tolak Bea Keluar CPO

Bahkan pada kenyataannya tarif BK sekarang sebenarnya lebih tinggi pada tingkat harga di bawah USD 1.100 terutama pada tingkat harga USD 950 sampai USD 1.100,” ujar Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan, di sela halal bil halal bersama media, di Jakarta.

Menurut Fadhil, diperkirakan harga CPO dalam tahun ini dan mendatang akan berada pada kisaran tersebut USD 1.000-USD 1.100
Dengan demikian pernyataan pemerintah bahwa tarif  BK yang berlaku sekarang lebih rendah adalah menyesatkan dan tidak sesuai dengan kenyataan.

“Pada kenyataannya petani dan produsen CPO dikenakan BK yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya

BACA JUGA: Global Lesu, Investor Ragu

Hal ini semakin membuktikan bahwa BK sebenarnya adalah instrumen penerimaan negara,” tandas Fadhil.

Seperti diketahui, pada 15 Agustus 2011 lalu Menteri Keuangan telah mengeluarkan PMK Nomor 128/PMK 011/2011  tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar (BK) sebagai perubahan atas Permenkeu No
67/PMK.011/2010.

Dalam PMK yang baru itu batas minimum pengenaan BK untuk CPO sebesar USD 750 per ton, sedangkan pada PMK yang lama  adalah USD 700

BACA JUGA: Soal Rokok Kretek, RI Akan Banding

Demikian pula batas atas dari BK untuk CPO pada PMK yang baru ditetapkan 22,5 persen  atau turun dari ketentuan pada PMK yang lama sebesar 25 persen pada tingkat harga USD 1.250Untuk produk hilir refine bleach deodorize, bila semula dikenakan tarif BK sebesar maksimum 25 persen, sekarang maksimum 10 persen.

Fadhil juga mengkritik argument lain dari pemerintah yang menyatakan bahwa penerapan BK  adalah untuk mendorong pengembangan industri hilir CPO, sehingga tarif BK untuk produk hilir ditetapkan lebih rendah daripada CPO.

“Pertanyaannya adalah, mengapa produk hilir masih tetap dikenakan BK" Bukankah ini justru bertentangan dengan upaya mendorong pengembangan industri hilir itu sendiri?” ujarnya.

Menurutnya, tidak ada hubungan antara tarif BK dengan pengembangan industri hilir CPO di dalam negeriBahkan ketika pemerintah mengenakan Pajak Ekspor sebesar 60 persen tidak serta merta industri pengolahan CPO di dalam negeri berkembangYang terjadi adalah meningkatnya ekspor ilegal CPO,” urai Fadhil.

Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Umum Gapki Joko Supriyono menjelaskan, secara konsepsional dan pada kenyataannya pengenaan BK untuk CPO dan produk turunannya telah membawa dampak negatif bagi pengembangan industri CPO secara keseluruhanBiaya ekonomi pengenaan BK jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh sehingga ekonomi dirugikan secara keseluruhan.

Menurut Joko, BK telah menambah beban dan menimbulkan high cost economyKenyataan menunjukkan, BK tidak berdampak mengurangi pungutan di berbagai daerah“Justru sebaliknya BK mendorong pemerintah daerah menetapkan berbagai pungutan terhadap CPO, karena BK tidak dapat dikembalikan ke daerah maupun digunakan untuk pengembangan industri CPO secara keseluruhan,” urai Joko.

Akibatnya, lanjut Joko, daya saing industri CPO Indonesia mengalami penurunan terhadap industri CPO negara lain dan juga terhadap minyak nabati lainnyaPangsa pasar CPO Indonesia menjadi tidak optimal dan diambil oleh negara lain. (lum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Minta Lifting Minyak 1 Juta Barel


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler