jpnn.com, JAKARTA - Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) belum memutuskan untuk melakukan amendemen terbatas terhadap UUD 1945.
Menurut Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, proses amendemen harus melalui tahapan yang sangat panjang.
BACA JUGA: Ada Usulan Pembentukan Lembaga Baru Tangani Pandemi, Setuju?
Di antaranya, harus ada kajian dan evaluasi secara lengkap terkait alasan untuk dilakukannya amendemen.
“MPR RI belum memutuskan apa pun, karena sebagaimana kita ketahui proses mengajukan amendemen sangat panjang dan harus didahului kajian," kata Lestari saat membuka acara diskusi Forum Denpasar 12 yang berlangsung secara virtual, di Jakarta, Rabu (1/9).
BACA JUGA: Ini 5 Provinsi Urutan Tertinggi Indeks Kemerdekaan Pers
Lestari menyampaikan pernyataan itu demi menjernihkan berbagai asumsi dan pertanyaan yang muncul ke publik terkait amendemen terbatas UUD 1945.
Dia mengingatkan pihak-pihak yang menghendaki adanya amendemen untuk berhati-hati dan membuka ruang diskusi yang seluas-luasnya untuk publik.
BACA JUGA: Pers Belum Sepenuhnya Bebas, Masih Ada Kriminalisasi
“Kehati-hatian sangat diperlukan."
"Jangan sampai segala macam ide, usul, upaya, dan wacana yang berkembang saat ini berubah menjadi bola liar yang akhirnya merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ucapnya.
Menurut Lestari, prinsip kehati-hatian dan partisipasi aktif publik merupakan faktor penting yang menunjukkan amendemen UUD 1945 benar-benar mendesak dan untuk kepentingan rakyat.
Persoalannya saat ini, banyak pihak meyakini amendemen bukan menjadi prioritas yang mendesak, mengingat pemerintah dan seluruh kelompok masyarakat masih berusaha bertahan dari ancaman pandemi COVID-19.
“Permasalahan bangsa ini demikian banyak, dan kita berhadapan pada situasi yang tidak pasti."
"Rasanya saat ini sebaiknya energi yang dimiliki kita satukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi keutamaan."
"Termasuk kalau memang amendemen dianggap sebagai keutamaan, mari ini dilakukan dengan baik dan sebenar-benarnya melihat kepentingan dan kemaslahatan bagi rakyat,” ucapnya.
Dalam forum diskusi yang sama, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat amendemen hanya perlu dilakukan jika memang dibutuhkan oleh publik.
Namun, ia berpendapat amendemen saat ini bukan kebutuhan publik yang mendesak.
“Indikator sebuah perubahan UUD dianggap perlu, yaitu kebutuhan kekinian. Kebutuhan publik hari ini apa. COVID-19 di depan mata. Banyak korban berjatuhan. Pelayanan kesehatan tidak menyeluruh, mencukupi untuk publik secara baik,” kata Feri.
Dia juga mempertanyakan wacana amendemen yang disampaikan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2021.
“Kalau kebutuhan publik berkaitan dengan COVID-19, kok solusinya menambah kewenangan MPR (lewat PPHN)."
"Begitu jauh antara keinginan publik dan kepentingan politik. Bukankah politik dirancang untuk menyalurkan kepentingan publik,” ucapnya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu mengingatkan usulan mengamendemen UUD 1945 harus diajukan oleh minimal sepertiga dari jumlah anggota MPR RI atau 237 anggota.
“Usulan itu harus disertai, menurut Pasal 37 (UUD 1945), oleh kajian yang menyatakan pasal mana saja yang diubah dan alasan kenapa pasal itu diubah,” ujar Feri.
Wacana mengamendemen UUD 1945 kembali ramai jadi pembicaraan publik, setelah Ketua MPR RI menyampaikan pentingnya membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai cara menjaga pembangunan nasional agar tetap berkesinambungan.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bulan lalu menyampaikan kajian dan naskah akademik terkait PPHN kemungkinan akan rampung awal 2022.(Antara/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Ken Girsang