Ingat Freeport, Ingat Julius Tahija

Rabu, 25 November 2015 – 11:11 WIB
Julius Tahija (tiga dari kanan) bersama tentara Sekutu di Australia. Foto: Repro buku Julius Tahija.

jpnn.com - TAK lengkap membicarakan Freeport tanpa menyebut nama Julius Tahija. Freeport tanpa Tahija, mungkin akan lain ceritanya.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network 

BACA JUGA: Trah Paku Alam, Antara Daendels dan Raffles

Julius Tahija seorang serdadu Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL)--tentara Hindia Belanda. 

Di KNIL, dia satu leting dengan Soeharto, yang kemudian hari jadi Presiden Indonesia. 

BACA JUGA: Misteri Cincin Bob Marley

Suatu malam di bulan Juli 1942... 

Perang Dunia II sedang berkecamuk. Dunia terpolarisasi antara kekuatan Poros (Jepang, Jerman, Italia) versus Sekutu. 

BACA JUGA: Hikayat Syech Albar, Ayah Rockstar Ahmad Albar Perintis Musik Dangdut

Sersan KNIL Julius Tahija bersama 12 orang serdadu KNIL mendarat di Saumlaki, Kepulauan Tanimbar, Maluku Selatan. 

Kedatangan mereka, mengukuhkan kehadiran tentara Sekutu di sana. 

Mereka juga mendapat tugas, "mencegah pulau ini dijadikan batu loncatan oleh pasukan Jepang untuk masuk Australia," tulis Emil Salim dalam Melakoni Hidup Adicita Saumlaki, termuat dalam buku bertajuk Julius Tahija.

Dari Saumlaki ke barat laut Darwin, Australia, jaraknya sekira 450 km. 

29 Juli 1942. Fajar sedang merah-merahnya…

Tahija dan pasukannya mengintip pasukan Jepang yang baru saja datang. 

Begitu merapat ke dermaga, dalam jarak tembak yang tepat, Tahija menyeru, "tembak!"

Prajurit Jepang yang tidak mengira akan mendapat "ucapan selamat datang", bertumbangan. 

Sebagian pontang-panting. Tahija lagi-lagi memberi komando, "tembak!"

Sejurus kemudian, Jepang melakukan serangan balik. Tahija dan pasukannya kabur ke hutan, laju ke pantai, dan dengan perahu Bugis, berlayar ke Australia. 

Kisah itu menjadi buar bibir. Radio Jepang menyiarkannya. Sesampai di Australia, Tahija cs disambut bak pahlawan. 

Pangkat pemuda berusia 26 tahun itu naik jadi Letnan. Ratu Wilhelmina menganugerahinya Militaire Willems Orde'--sebuah penghargaan militer tertinggi Kerajaan Belanda.

Intelijen Sekutu

Bersama pasukan Sekutu, Julius Tahija berkedudukan di Australia ketika negeri yang hari ini bernama Indonesia diduduki Jepang (1942-1945).

Suatu hari dia didatangi dan diajak oleh seorang perwira Amerika bergabung dalam unit khusus bersandi Z Force. Dalam unit ini, Tahija diberi jabatan asisten instruktur bagian intelijen. 

Unit ini bertugas masuk diam-diam ke daerah musuh, mendata kekuatan musuh dan balik secara diam-diam lagi.

"Karena itu, kami masing-masing membawa permen maut, yakni pil-pil sianida tak berwarna kalau telan bisa mengundang kematian dengan cepat," ungkap Julius Tahija dalam otobiografinya, Julius Tahija.

Usai Perang Dunia II 

15 Agustus 1945, Perang Dunia II berakhir. Ditandai dengan menyerahnya Jepang pada Sekutu, setelah Nagasaki dan Hiroshima luluh lantah kena bom atom.

Dua hari kemudian, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Jadilah Indonesia negara pertama yang merdeka usai Perang Dunia II. 

Penghujung September 1945, Sekutu sebagai pemenang perang mulai berdatangan ke Indonesia. Belanda turut serta, begitu pun Julius Tahija. 

Lelaki kelahiran Surabaya 1916 itu diangkat jadi ajudan Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor, musuh besar Jenderal Soedirman. 

Tahija dan Spoor sudah saling kenal sejak Perang Dunia II. Spoor adalah Kepala Operasi Intelijen di Australia. 

Kembali ke kalimat pembuka di atas. Lantas, apa hubungan Julius Tahija dengan Freeport Indonesia? --bersambung (wow/jpnn)

 

(baca: Sebelum Para Eksekutif Freeport Datang...)

(baca: Dalam Catatan Perjalanan Pendaki Inilah, Freeport Menemukan 'Peta Harta Karun' Papua)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DISERSI…Tentara Perang Dunia 2 Ini Lantas Menculik Bung Karno


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler