jpnn.com, JAKARTA - Permenristekdikti 20/2017 mengatur ketentuan pembayaran tunjangan profesi dosen serta tunjangan kehormatan profesor.
Syarat untuk mendapatkan tunjangan, antara lain profesor harus membuat publikasi internasional.
BACA JUGA: Belum Putuskan Sanksi Profesor tak Publikasi Internasional
Anggota Komisi X DPR (bidang pendidikan) Arzeti Bilbina mengatakan munculnya Permenristekdikti 20/2017 menimbulkan pro dan kontra.
’’Di dunia akademisi topik ini terus menghangat. Komisi X sudah membahasnya Februari 2017 lalu,’’ katanya.
BACA JUGA: Jika Profesor tak Patuhi Aturan, Mahasiswa Lebih Kacau Lagi
Hasil pembahasan itu meminta pemerintah mengkaji lebih jauh regulasi tersebut serta menerima masukan dari berbagai kalangan.
Arzeti menjelaskan di satu sisi sebagai negara besar, jumlah publikasi internasional Indonesia masih tertinggal di bawah negara lain.
BACA JUGA: Tunjangan Profesor tak Publikasi Internasional Dipotong 25%
Padahal jumlah dosen lektor kepala mencapai 31 ribu lebih, sementara profesornya ada 5.000-an.
Dia memahami bahwa terbitnya regulasi itu untuk meningkatkan jumlah publikasi internasional dan mengerek daya saing perguruan tinggi Indonesia.
Sementara di sisi lain banyak dosen yang tidak sepakat dengan Permenristekdikti 20/2017 itu. Alasannya adalah biaya yang dikeluarkan untuk membuat karya ilmiah atau publikasi jauh lebih mahal dibandingkan tunjangan yang diperoleh.
’’Mereka mengatakan untuk publikasi saja biasanya sekitar Rp 15 juta,’’ jelasnya. Ongkos itu belum termasuk biaya penelitian yang bisa sampai ratusan juta rupiah.
Arzeti mengatakan pemerintah seharusnya juga menghargai profesor yang lebih memilih mengajar dari pada berkarya di kelas internasional.
Dia berharap ditemukan komitmen bersama antara pemerintah dengan para profesor. Sehingga upaya pemerintah mensejahterakan profesor disertai dengan peningkatan profesionalisme. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Sejumlah Penghambat Profesor tak Publikasi Internasional
Redaktur & Reporter : Soetomo