jpnn.com - JAKARTA - Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menilai pernyataan petinggi PDI Perjuangan, Pramono Anung bahwa tak ada sejarahnya pimpinan MPR dipilih lewat voting, tidak benar.
Pasalnya, pemilihan Ketua MPR lewat mekanisme voting sudah dilaksanakan sejak pemilu 1999. Kala itu, ada banyak calon yang muncul dan ikut bertarung.
BACA JUGA: JK Sebut Megawati Siap Ketemu SBY, tapi ...
"Para kandidat ketua MPR yang ada ketika itu antara lain Amin Rais, Husnie Thamrin, Nazri Adlani, Matori Abdul Djalil, Ginandjar Kartasasmita, Kwik Kian Gie, Hari Sabarno, dan Yusuf Amir Faisal," ujarnya di Jakarta, Minggu (5/10) malam.
Masing-masing kandidat tersebut kata Daulay, dinominasikan para pendukungnya untuk menduduki kursi ketua MPR.
BACA JUGA: SBY Jawab Alasan Batalnya Pertemuan dengan Megawati
"Fakta historis seperti ini semestinya tidak dilupakan. Kan belum begitu lama. Semuanya masih mudah diingat dan segar dalam memori dan ingatan banyak orang," katanya.
Menurut Daulay, pemilihan pimpinan baru MPR saat itu dilaksanakan malam hari, tepatnya 3 Oktober 1999. Anggota MPR yang ikut memilih tercatat 647 anggota. Sebelum pemilihan, konstalasi politik mengerucut kepada dua nama, yaitu Amin Rais dan Matori Abdul Jalil.
BACA JUGA: PDIP Dinilai Masih Bergaya Oposisi
"Setelah pemungutan suara, Amin Rais akhirnya keluar sebagai pemenang dengan 305 suara dan Matori Abdul Jalil 279 suara. Pemilihan itu berlangsung sangat demokratis. Syukurnya, semua pihak menerima hasil itu dengan lapang dada. Tidak ada yang walk out dan membuat pernyataan yang menyudutkan pemenang," katanya.
Selain tahun 1999, voting menurut Daulay, juga dilakukn dalam pemilihan pimpinan MPR tahun 2004. Bedanya, kali ini pemilihan dilaksanakan dengan sistem paket. Ada tiga pilihan paket yaitu, Paket A (Koalisi Kebangsaan) mengusulkan nama Sutjipto (PDIP), Theo L Sambuaga (Golkar), Aida Zulaika Ismeth Nasution (DPD) dan Sarwono Kusumaatmaja (DPD).
Paket B (Koalisi Kerakyatan) mencalonkan Hidayat Nurwahid (PKS), AM Fatwa (PAN), HM Aksa Mahmud (DPD), dan Dr Mooryati Soedibyo (DPD). Sementara Paket C memilih abstain. Pemilihan diikuti 668 dari 675 anggota MPR, dilaksanakan 6 Oktober 2004, tepatnya siang hari.
"Hasil akhir pemungutan suara adalah Paket A 324 suara, Paket B 326 suara, Paket C 13 suara (abstain), dan terdapat 10 suara tidak sah," katanya.
Berdasarkan fakta historis tersebut, pemilihan ketua MPR lewat voting kata Daulay, sudah pernah ada dan tidak ada masalah. Karena itu, tidak tepat dan tidak benar disebut voting dalam memilih pimpinan MPR sebagai sesuatu yang ahistoris di pentas politik nasional.
"Perlu ditelusuri apa motif Pramono Anung dalam menyampaikan pernyataan seperti itu. Jangan-jangan hanya untuk menggiring opini pemilihan pimpinan MPR lewat voting dianggap tidak sah. Kalau itu yang dimaksud, tentu muatan politiknya sangat besar. Kasihan masyarakat dengan opini yang tidak berdasar seperti itu," ujar Ketua DPP PAN ini.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nilai Perppu Pilkada Langsung Penuhi Syarat Konstitusi
Redaktur : Tim Redaksi