jpnn.com - JAKARTA - Pakar lingkungan hidup dari Universitas Indonesia (UI), Firdaus Ali mengatakan teknologi reklamasi yang diterapkan untuk Teluk Jakarta masih sangat layak dan cocok.
Karena itu, menurut dia, kritik Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda bahwa rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan reklamasi pulau dan membentuk Giant Sea Wall sebagai ide yang ketinggalan zaman, sangat tidak berdasar.
BACA JUGA: Operasi Militer Bukan Solusi Selamatkan Sandera
Menurutnya, pada tahun 1953, terjadi banjir hebat dan gelombang tinggi di Belanda, menewaskan sekitar seribu orang. Pemerinah Belanda kemudian membangun tanggul raksasa dan masalah banjir selesai sejak saat itu.
"Jika ada anak-anak muda Indonesia yang sedang belajar di Belanda, mereka merasa sudah tahu banyak, padahal sebenarnya mereka tahunya sedikit. Saya juga dulu seperti itu, maklum mahasiswa yang sedang sekolah di luar negeri," kata Firdaus, dalam rilisnya, Kamis (24/6).
BACA JUGA: Tiga Belum Ditemukan, Operasi Pencarian Korban Longsor Resmi Dihentikan
Kalau mereka menilai teknologi yang dipakai Belanda itu sudah kuno ujarnya, ya itu karena masalah di sana sudah selesai 60 tahun lalu. Tetapi anak-anak muda Indonesia yang sedang belajar di Belanda itu lupa bahwa teknologi yang mereka bilang kuno itu masih sangat layak dan baru untuk Jakarta.
"Teknologi yang ada saat ini adalah tanggul laut, tidak ada yang lain. Itu memang konsep kuno yang saat ini tetap dipakai dan belum ada teknologi baru menggantikan ini," imbuhnya.
BACA JUGA: MenPAN-RB Dorong Banyuwangi jadi Role Model Smart Kampung
Selain itu, Firdaus menjelaskan secara terminologi reklamasi dengan Giant Sea Wall berbeda dengan National Capital Integrated Costal Development (NCICD). Reklamasi Teluk Jakarta, kata dia, untuk menguruk laut untuk menjadikan ruang daratan baru guna menambah daya tampung dan daya dukung daratan sama halnya di Singapura dan New York.
"Karena kebetulan Teluk Jakarta sudah tercemar maka proses reklamasi bisa membuat pantai menjadi bersih," katanya.
Sementara NCICD yang dipakai Belanda karena permukaan tanah Jakarta terus menurun dan air laut naik 5-6 milimeter per tahun karena dampak pemanasan global.
"Jika tak diantisipasi, tinggi permukaan sungai akan berada di bawah air laut. Jika tak ada upaya massif, pada pada 2050 bibir pantai akan berada di Harmoni atau Semanggi, Jakarta. Karena itu, solusi dari menurunkan muka air laut adalah di Teluk Jakarta dibangun bendungan air yang disebut Giant Sea Wall," pungkasnya.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Saran Ketum PPP atas Kisruh BPK Vs KPK
Redaktur : Tim Redaksi