Ini Kronologis Gratifikasi Kemenkumham Versi Denny Indrayana

Senin, 29 September 2014 – 17:48 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan Hak AWamenkumham Denny Indrayana membantah terlibat kasus dugaan gratifikasi di Ditjen Adminsitrasi Hukum Umum (HU) Kemenkumham. Denny mengklaim dirinya dan jajarannya yang justru membongkar kasus pemberian gratifikasi dalam proses pengangkatan notaris yang menjerat dua tersangka, mantan direktur perdata LSH dan kasubdit notariat NA itu.

"Kami ini yang melaporkan, kami ini yang membongkar kasus ini, saya dan staf saya itu (Zamroni) yang membongkar dan memeriksa," kata Denny di Kejagung, Senin (28/9).
   
Denny menjelaskan, kasus ini terbongkar berawal dari laporan masyarakat akhir September 2013 tentang proses pengangkatan notaris dengan membayar uang pelicin. Denny dibantu beberapa stafnya mulai meminta keterangan berbagai pihak. "Notaris dan pihak terkait mengakui adanya aliran uang kepada pihak swasta (calo) guna memuluskan proses pengangkatan notaris di daerah yang formasinya tertutup," katanya.

BACA JUGA: KPK Tetapkan Kadis PU Sumsel Sebagai Tersangka

Di ruang kerjanya, Denny dan stafnya meminta keterangan beberapa calo. Hasilnya, kata dia, diperoleh pengakuan, bukti percakapan dan lainnya perihal adanya aliran uang ke "orang dalam".
   
Denny kemudian meminta bantuan Irjen Kemenkumham Agus Sukiwo memperkuat tim, mengingat pihak yang akan diperiksa selanjutnya adalah pegawai Kemenkumham. "Sekaligus sebagai bagian dari prosedur formal penjatuhan hukuman disiplin," katanya.
   
Selama pemeriksaan itulah, kata Denny, diperoleh bukti dan pengakuan bahwa staf, kepala seksi, kasubdit dan direktur telah menerima uang dari proses pengangkatan notaris.

"Direktur Perdata LSH mengakui di hadapan tim pemeriksa yang dipimpin langsung Irjen Agus Sukiswo bahwa dia menerima uang sejumlah Rp 95 juta. Menurut pengakuannya, uang tersebut masih tersimpan di Apartemen Kalibata, tempat dia tinggal," ungkap Denny.
   
Ia menjelaskan, yang diperas itu untuk satu notaris Rp 120 juta. Uang Rp 95 juta masih di Apartemen LSH. "Yang sisanya Rp 25 juta dibagi-bagi ke dua orang. Bentuk uangnya sudah dikembalikan," katanya.
   
Denny langsung meminta tim bergerak cepat untuk mengamankan barang bukti. Akhirnya, dini hari itu juga tim Itjen dan Staf Wamen mengamankan uang di kamar LSH dan dibuatkan berita acara serah terima.
   
Proses pemeriksaan yang dilakukan secara maraton sejak Jumat pagi hingga Sabtu (5/10/2013) diputuskan diakhiri sementara. "Pemeriksaan maraton memang direncanakan agar barang bukti tidak dihilangkan dan mengantisipasi pihak terkait melakukan konsolidasi," paparnya.
   
Hari berikutnya, Denny dan Stafnya kembali meminta keterangan pihak terkait di rumah dinasnya di kawasan Tebet hingga larut malam. Sebagai bagian dari implementasi kerjasama pengendalian gratifikasi antara Kemenkumham dengan KPK serta untuk mengakhiri polemik, Menkumham Amir Syamsudin meminta Direktur Perdata melaporkan penerimaan uang tersebut kepada KPK.
   
Atas laporan tersebut, KPK memutuskan laporan tidak dapat ditetapkan sebagai gratifikasi karena telah lewat 30 hari. Selanjutnya KPK melimpahkan penanganan kasus tersebut kepada Kejagung disertai Koordinasi dan Supervisi.
   
Denny mengklarifikasi pemberitaan yang menyatakan telah ditemukan uang suap dari hasil penggeledahan di Kemenkumham. Denny menjelaskan, uang sejumlah Rp 95 juta itu merupakan barang bukti yang oleh KPK disuruh dititikan di Itjen Kemenkumham.

BACA JUGA: 65 DOB Ditunda Dibahas, Agun Curhat di Sidang Paripurna

"Kemarin oleh teman-teman kejaksaan diambil uang itu. Tapi yang jelas itu barbuk disimpan di berangkas Inspektorat Jenderal, oleh KPK dibilang simpan saja," ungkap Denny.

Kasus ini pun akhirnya ditangani Kejagung dengan menetapkan dua tersangka. Ia menyatakan dua tersangka itu juga sudah diberikan sanski hukuman kepegawaian. "Dua-duanya diberi hukuman berat, dua-duanya non job," ungkapnya.

BACA JUGA: RUU DOB Ditolak DPR, Papua dan Papua Barat Minta Merdeka

Untuk mencegah kasus terulang kembali, sejak 25 Maret 2014 sistem pengangkatan sudah dilakukan secara online dan transparan.

Lantas apakah ini pidana pemerasan atau gratifikasi dan bagaimana dengan si pemberi? Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejagung Suyadi mengatakan ikuti saja dulu proses hukumnya. "Sekarang memang dilakukan dengan adanya pemerasan itu," kata dia di Kejagung, Senin (29/9).

Denny menyatakan, tunggu saja proses yang tengah berjalan di kejaksaan. Menurutnya, kasus ini terbongkar juga karena informasi dari mereka yang diperas. Sebaiknya, Denny menyarankan, yang diperas itu diberikan perlindungan sebagai saksi dan korban.

"Kalau tidak nanti pada takut melaporkan. Tapi, tentunya ini kejaksaan yang nanti (memutuskan). Kalau saya sih pelapor-pelapor itu, yang diperas-peras itu (diberikan perlindungan), kalau lapor jadi tersangka kan akhirnya orang tidak mau lapor," jelasnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Intsiawati Ayus Calonkan Diri jadi Pimpinan DPD


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler