jpnn.com - JAKARTA - Fredy Budiman belum habis. Terpidana mati narkotika ini kembali beraksi dari balik jeruji besi. Badan yang terkurung di Lapas Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, tak membuat Fredy kehabisan akal untuk berbisnis narkotika.
Tak tanggung-tanggung, bisnis yang dikendalikan Fredy ini berlevel internasional. Mulai dari pembelian narkotika dari Belanda dan Pakistan, hingga memproduksi di sebuah rumah toko di kawasan CBD Cengkareng Timur, Cengkareng, Jakarta Barat.
BACA JUGA: Rehabilitasi Ditanggung Negara, Pecandu Narkoba tak Dipenjara
Namun, aksi ini berhasil digagalkan jajaran Direktorat Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Mabes Polri. Fredy yang tengah mendekam di Lapas Nusa Kambangan, pekan lalu dibon Bareskrim untuk pengembangan pascamelakukan penangkapan sejumlah jaringan Fredy.
"Dia (Fredy) salah satu pengendali dari lapas," tegas Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso saat menggelar barang bukti pengungkapan sindikat narkotika jaringan Fredy di CBD Cengkareng, Selasa (14/4) siang.
BACA JUGA: Susi: Bisa Langsung Ditembak
Dalam operasi itu, belasan pelaku diamankan. Mereka adalah Fredy Budiman (38), yang selama ini mendekam di Lapas Nusa Kambangan. Kemudian, Yanto (50), Aries (36), Latif (34), Gimo (46), Asun (42), Henny (37), Riski (22), Hadi (38), Kimung (31), Andre (30) dan Asiong (50). Satu lainnya adalah WN Belanda, Laosan alias Boncel yang kini masih buron dan diketahui keberadaannya tak ada di Indonesia.
Kronologis pengungkapan berawal pada 7 April 2015, Dittipid Narkoba Bareskrim Polri mengungkap jaringan narkotika internasional Belanda-Pakistan-Indonesia, yang dilakukan para tersangka.
BACA JUGA: Menteri Andrinof Prioritaskan Pembangunan Perbatasan
Pada September 2014, Fredy menyuruh Yanto dan Aries membeli bahan dan alat cetak ekstasi kemudian disimpan di Cikarang.
Karena bahan produksi ekstasi belum lengkap, sehingga pada Maret 2016 Fredy menyuruh Yanto memindahkan bahan dan alat ke pabrik bekas garmen di Jalan Kayu Besar, Jakbar.
Namun, Yanto menyuruh Aries sehingga Aries memindahkan bahan dan alat kepada Gimo.
"Kemudian disimpan di pabrik bekas garmen di Jalan Kayu Besar, Jakbar yang dikuasai oleh Latif," kata Direktur Tipid Narkotika Bareskrim Brigjen Anjan Pramuka Putra.
Terkait penerimaan narkotika jenis perangko (CC4) pada Oktober 2014, Fredy menyuruh Yanto menerima barang itu dari Mr X (DPO) di depan Museum Bank Indonesia. "Kemudian dijual Fredy Budiman kepada Andre," kata Anjan.
Soal penerimaan narkotika jenis sabu, November 2014 Fredy menyuruh Yanto menerima satu kilogram sabu dari Mr X (DPO) di daerah Kota, Jakarta. Oleh Yanto, barang laknat itu diserahkan kepada Bengek (DPO) di Stasiun Kota, Jakarta.
Januari 2015, Fredi kembali menyuruh Yanto menerima 500 gram sabu dari Mr X (DPO) di Kota Lama, kemudian diserahkan kepada Mr X (DPO) di Kota Lama.
Maret 2015, Fredy menyuruh Gimo menerima 1,2 kilogram sabu dari Mr X (orang Pakistan yang kini DPO) di Terminal Kampung Rambutan. Kemudian diserahkan kepada Latif di Jalan Kayu Besar. Tak cuma sampai disitu. Fredy kemudian menyuruh Gimo mengirim dua ons sabu ke Palu, diterima orang suruhan Henny. Yanto membawa dan menyerahkan satu kilogram sabu kepada Mr X (DPO) di Surabaya.
"Namun, karena kualitas sabu tidak bagus, sehinga sabu dibawa kembali ke Jakarta," jelasnya.
Fredy juga menyuruh Yanto mengirim masing-masing satu ons ke Kalimantan dan Palu.
"Sehingga sabu tersisa delapan on yang kemudian disimpan oleh Gimo di pabrik bekas garmen di Jalan Kayu Besar, Jakbar yang dikuasai Latif," ujarnya.
Terkait pengiriman 25 ribu butir ekstasi dari Belanda, Anjan menjelaskan, pada Februari 2015 barang itu dibeli Fredy dari Laosan alias Boncel. Kemudian Fedy menyuruh Ramon (DPO) mengecek paket berisi 25 ribu butir ekstasi dari Belanda.
Pada 9 Maret 2015, Fredy menyuruh Yanto dan Aries mengambil paket isi 25 ribu butir ekstasi di Kantor Pos Cikarang. Kemudian, Fredy menyuruh Yanto menyerahkan 5 ribu butir ekstasi kepada orang suruhan Asiong ke Bekas.
"Dan menyerahkan 1000 butir ekstasi kepada Mr X (DPO) di Bekasi," katanya.
Terkait pengiriman 50 ribu butir ekstasi dari Belanda, pada 15 Maret 2015 barang itu dipesan Fredy dari Laosan. Pada 5 April 2015, Fredy menyuruh Asun mengecek paket kiriman 50 ribu butir ekstasi yang dikirim Boncel dari Belanda. Pada 7 April 2015, Fredy menyuruh Yanto dan Aries mengambil paket kiriman 50 ribu butir ekstasi di Kantor Pos Cikarang.
"Kemudian Yanto dan Aries ditangkap," tegasnya.
Para tersangka dijerat pasal berlapis. Dalam pasal primair, tersangka dijerat pasal 114 ayat 2 juncto pasal 132 ayat 2 UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika karena mengedarkan narkotika golongan I dengan ancaman hukuman pidana mati dan denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 10 miliar ditambah sepertiga.
Kemudian, subsidair pasal 113 ayat 2 juncto pasal 132 aya 2 UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika karena memproduksi, mengimpor dan mengekspor narkotika golongan I dengan ancaman hukuman pidana mati dan denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 10 miliar ditambah sepertiga. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berkas Penyidikan Tuntas, Mantan Sekjen ESDM Segera Dibawa ke Pengadilan
Redaktur : Tim Redaksi