jpnn.com, JAKARTA - Setelah melakukan pembahasan khusus dengan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder), Badan Ketahanan Pangan dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjend PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) menyampaikan beberapa hal terkait mahalnya harga telur ayam ras belakangan ini.
Faktor-faktor penyebab kenaikan harga telur dan juga daging ayam ras pasca lebaran di antaranya; terjadi lonjakan kebutuhan telur secara nasional terkait beberapa program pengadaan telur langsung untuk masyarakat miskin dan KJP DKI.
BACA JUGA: Sidak BBKP Surabaya, Mentan Skorsing 4 Pegawai Tak Disiplin
Faktor kedua, bagusnya harga daging ayam pada saat lebaran, sehingga banyak peternak melakukan afkir dini ayam petelur/layer untuk dijual dagingnya. Ketiga, setelah pelarangan penggunaan Antibiotic Growth Promoters (AGP) dan Ractopamine dalam pakan ternak, harga telur dan daging ayam menjadi mahal karena telur zero residu AGP.
Penggunaan AGP pada ternak dikhawatirkan menimbulkan resistensi bagi orang yang mengkonsumsi daging atau telur.
BACA JUGA: Harga Telur Ayam Melonjak, Ini Solusi dari Kementan
"Pengaruh yang cukup signifikan sebenarnya bukan pada pelarangan AGP, karena peternak sudah banyak melakukan substitusi sebagai pengganti pemakaian AGP. Menurut peternak layer, justru penyakit koksi yg terbesar pengaruhnya dalam menurunkan produksi," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Drh. I Ketut Diarmita, MP.
Diarmita melanjutkan, faktor keempat adalah adanya permintaan telur yang meningkat karena adanya acara hajatan/pesta dan liburan panjang.
BACA JUGA: Kementan Ungkap Penyebab Naiknya Harga Telur Ayam Ras
Aspirasi Peternak Ayam Broiler
Khusus mengenai pelarangan penggunaan AGP, kalangan pelaku usaha peternakan ayam potong menyampaikan beberapa usulan kepada Kementerian Pertanian, agar aturan ini hanya diberlakukan di tingkat budidaya F-1 (finalstock), atau pakan untuk peternakan.
Karena hasil daging di tingkat F-1 inilah yg akan dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan akan mengurangi residu antibiotik yg ada (aman).
"Tapi kalau pelarangan AGP ini diberlakukan juga di tingkat budidaya grand parent stock (GPS) dan parent stock (PS),maka secara langsung akan mempengaruhi dua hal dalam budidaya broiler. Pertama, performa di tingkat induk yang kurang bagus, sehingga anak ayam (Day Old Chicken/DOC) yang dihasilkan menjadi tidak optimal dan akhirnya menaikkan HPP DOC dari ternak pembiakan (breeding farm)", jelas Parjuni dari Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Parsuni) Jawa Tengah.
Kedua, Pardjuni melanjutkan, suplai daging dan telur yang turun drastis dari estimasi stok yang ada. Suplai turun tentu berpengaruh langsung pada HPP.
Solusi Kementerian Pertanian
Menindaklanjuti hal-hal di atas, Ditjend PKH Kementan menyodorkan solusi yang akan dilakukan bersama.
Pertama, Pemerintah segera melakukan penghitungan ulang prognosa kebutuhan telur dan ayam ras.
Kedua, berkoordinasi dengan Kemendag untuk mengkaji kembali harga acuan telur dan ayam ras tingkat produsen dan konsumen.
"Dan sesuai hasil rapat dengan pihak-pihak terkait hari ini, Ketua Pinsar Singgih Janu Ratmoko mengupayakan harga telur Segera stabil dalam minggu ini", demikian tutup Diamitra menjawab terus bertahannya harga telur ayam.
Untuk diketahui, Ditjen PKH Kementan merilis data produksi telur dari Januari hingga Mei aman bahkan surplus. Produksi telur bulan Juni 2018 sebanyak 153.450 ton dan kebutuhan telur bulan Juni sebanyak 151.166 ton, artinya ada Surplus telur dibulan Juni sebanyak 2.284 ton. Dengan demikian tidak ada kekurangan produksi telur sampai bulan Juni 2018.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Produksi dan Kesejahteraan Petani Terus Meningkat
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh