Ini Penjelasan Lengkap terkait Penegakan Hukum Lingkungan di RUU Omnibus Law

Sabtu, 29 Februari 2020 – 17:11 WIB
Tenaga Ahli Menteri Bidang Legislasi Legal dan Advokasi /Tim Ahli RUU Omnibus Law, Dr. Ilyas Asaad. Foto: Humas KLHK

jpnn.com, YOGYAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali memastikan bahwa penegakan hukum lingkungan tetap dijalankan dalam RUU Omnibus Law sektor LHK.

Hal ini ditegaskan Tenaga Ahli Menteri Bidang Legislasi Legal dan Advokasi /Tim Ahli RUU Omnibus Law, Dr. Ilyas Asaad dalam media gathering KLHK di Yogyakarta hari ini

BACA JUGA: RUU Omnibus Law, Tak Ada yang Bisa Bermain-Main lagi di Urusan Amdal

"RUU Omnibus Law tidak mencabut UU Lingkungan. Hanya mengubah beberapa pasal yang berhubungan dengan percepatan cipta kerja tetapi prinsip lingkungannya tetap dijaga," kata Ilyas.

Pria asal Sulawesi Selatan itu juga menepis tudingan sejumlah kalangan yang menyebut sanksi pidana dalam RUU Omnibus Law dihilangkan bagi perusahaan yang terkait kasus karhutla.

BACA JUGA: Omnibus Law Cipta Kerja: Karhutla di Area Konsesi Jadi Tanggung Jawab Perusahaan

Menurutnya, dalam RUU Omnibus Law sektor LHK mengedepankan sanksi administrasi (ultimum remedium ) bukan berarti sanksi pidana hilang seketika.

Merujuk pada soal strict liability atau 'tanggung jawab mutlak' pada pasal 88 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dia memastikan pertanggung jawaban pidana tidak hilang seperti rumor yang beredar di masyarakat.

BACA JUGA: RUU Omnibus Law, Menteri Siti: Usaha yang Melanggar Standar, Bisa Kena Sanksi

Ilyas menegaskan strict liability sebagai pasal sakti dalam penegakan hukum lingkungan tetap dipertahankan.

"Perubahan pada pharase “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”, bukan berarti menggugurkan sanksi pidana. Karena setiap proses penegakan hukum tetap memerlukan pembuktian (sedikitnya bukti kepemilikan lahan). Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha dan juga masyarakat sekitar hutan yang terdampak hukum," papar Ilyas.

RUU Omnibus Law, kata dia, justru ingin melindungi petani-petani kecil yang selama ini sering ditangkap hanya karena berkegiatan di sekitar areal hutan.

Masih terkait soal karhutla, Ilyas juga meminta publik melihat secara utuh setiap pasal dalam RUU Omnibus Law sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman persepsi.

Itu terkait pasal pada UU 41 tahun 1999 mengenai pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya berubah menjadi 'Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya.

Menurutnya, bagian itu harus secara utuh dilihat perubahan dari pasal per pasal. Pemerintah, tegasnya, bukan membebaskan pelaku pembakar hutan dari pidana, melainkan menetapkan kewajiban baru untuk pelaku usaha agar menjaga dan nencegah lahan dari karhutla.

"Perubahan pasal 49 dari kewajiban bertanggung jawab dalam kebakaran hutan menjadi kewajiban melakukan pencegahan dan pengendalian sebenarnya harus dihubungkan dengan pasal larangan membakar dalam pasal 50 ayat (2) huruf c dan sanksi pada pasal 78 ayat (3) tentang pidana bagi pembakar hutan, sehingga dapat dimaknai bahwa sebenarnya pembakaran hutan dilarang kepada siapa saja dan khusus korporasi sebagaimana pasal 49 diberi tambahan kewajiban yaitu melakukan pencegahan dan pengendalian," paparnya.

Ilyas memastikan, setiap sanksi yang diberikan para pelanggar sesuai kadar pelanggarannya masing-masing.

Untuk pelanggaran-pelanggaran teknis yang membutuhkan langkah koreksi (corrective action) maka tetap dilakukan penegakan hukum dengan sanksi administratif paksaan pemerintah

Kemudian berturut-turut pembekuan dan pencabutan izin, serta selanjutnya denda.

"Sementara perbuatan melawan hukum terkait dengan limbah B3 atau yang beresiko tinggi mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan tetap dimintai pertanggung jawabannya untuk membayar ganti kerugian lingkungan dengan menggunakan strict liability," ungkapnya.

Menurut Ilyas, kejahatan lingkungan memang lebih menekankan sanksi administrasi meski tanpa menghilangkan unsur pidana.

"Penegakan hukum lingkungan lebih ke administrasi karena pemulihan lingkungan yang rusak itu susah dan lama. Maka pelakunya harus bertanggung jawab dong untuk pemulihan. Kalau pidana itu terakhir sekali. Jika dia langsung dipidana, nanti dia tidak bertanggung jawab pemulihan lingkungan. Bisa rusak terus tidak ada pemulihan. Harus ada sanksi administratif agar mereka bertanggung jawab memulihkan lingkungan yang rusak itu juga," pungkas Ilyas. (jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler