jpnn.com, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi menanggapi pro-kontra pengukuhan gelar profesor kehormatan atau guru besar tidak tetap kepada Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dari Universitas Pertahanan.
Ari menilai pengukuhan gelar profesor kehormatan sama sekali tidak melecehkan dunia akademis dan tidak mendegaradasi substansi gelar guru besar sebuah ilmu.
BACA JUGA: Hary Tanoe Maju Pilpres 2024? Jawabannya Sangat Tegas
"Penghargaan itu seharusnya dipandang sebagai apresiasi, sekaligus sumbangsih untuk dunia keilmuan yang terus berkembang," ujar Ari dalam keterangannya, Jumat (11/6).
Ari kemudian bercerita tentang sosok Mega berdasarkan pengalamannya sebagai sahabat, sekaligus pernah duduk sebagai staf khusus, ketika Ibunda Puan Maharani itu menjabat presiden.
BACA JUGA: Kang Emil-Anies Kompak Banget, Cocok Enggak ya Berpasangan di 2024?
Menurut Ari, ketua umum DPP PDI Perjuangan itu selalu meminta data terbaru dan masukan darinya tentang banyak hal.
Baik itu sebelum berpidato maupun sebelum menghadiri sebuah pertemuan.
BACA JUGA: Zainul: Menghina Presiden, Mengontrol Sifat Alamiah Kekuasan
"Megawati bukan bodoh, tetapi tipe pembelajar yang cerdas. Masukan yang saya berikan diolah dengan pengalaman dan intuisinya yang tajam," ucapnya.
Pembimbing program doktoral di Universitas Padjajaran ini mencontohkan saat Mega menanggapi permintaan Presiden Amerika Serikat untuk mengekstradisi Abubakar Ba’asyir, terkait dugaan terorisme.
Mega ketika itu menegaskan tak sudi diatur oleh negara lain.
Mega menyatakan Ba'asyir merupakan warga negara Indonesia, karena itu wajib dilindungi.
Sementara terkait kesalahan yang dituduhkan pada Ba'asyir, Mega menyatakan hukum di Indonesia yang mengadili.
Sikap tegas Mega juga diperlihatkan ketika AS menolak menjual peralatan militer ke Indonesia.
Mega memutuskan untuk membeli pesawat tempur Sukhoi, helikopter MI-35, kapal laut jenis korvet sigma class III dan IV serta retrofit kapal tempur dari Rusia.
Hebatnya, Mega berhasil membarter peralatan perang dengan komoditi.
Mirip dengan langkah Proklamator RI Bung Karno yang membeli peralatan tempur dengan harga diskon.
"Megawati jauh dari kesan 'klemar-klemer' atau plintat—plintut. Justru karakter kepemimpinannya begitu garang serta tegas. Apa yang diucapkan, selaras dengan yang diperbuat," ucapnya.
Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama ini juga bercerita terkait keputusan Mega menggelar pemilihan presiden secara langsung, meski kemudian kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pemilihan Presiden 2004.
Mega ketika itu ditentang oleh koleganya, karena keputusan tersebut dapat menjadi pintu masuk bagi kemenangan rival politik.
Namun, Mega tegas berkomitmen demi berdemokrasi yang matang. Pemilihan presiden secara langsung pun akhirnya digelar.
"Serupa dengan jalan pilihan Soekarno yang tidak sudi menggerakkan pendukungnya untuk menentang kebijakan Soeharto yang memenjarakannya di Wisma Yaso dan menterjemahkan Supersemar seenaknya sendiri," katanya.
Kelebihan lain, Mega piawai membujuk Tiongkok untuk menggagalkan rencana pembelian gas dari Rusia dan Australia.
Keberhasilan itu dilakukan dengan gaya diplomasi 'Lenso Bengawan Solo'.
Penawaran gas LNG Arun akhirnya berhasil memikat Tiongkok untuk mengimpor gas dari Indonesia.
Ari lebih lanjut berkisah saat mendampingi Mega berkunjung ke Korea Utara pada 2005 dan 2006 lalu.
Ia disambut meriah di Pyongyang meski tak lagi menjabat presiden. Korea Selatan bahkan kemudian juga mengundang Mega ke Seoul.
"Mega begitu luwes menghadapi Kim Jong Ill. Memang butuh waktu untuk menyatukan rakyat di Semenanjung Korea, tetapi harapan yang ditabur Megawati suatu saat akan menjadi kenyataan," ucapnya.
Menurut Ari, fase kehidupan Mega sangat komplet.
Ia terlahir sebagai anak presiden, namun pernah dikucilkan dan nama baik keluarganya dirusak.
Namun, Mega tetap berjuang dengan komitmen tanpa kekerasan. Ia akhirnya menggapai posisi tertinggi duduk sebagai presiden wanita pertama, serta mengantarkan Joko Widodo sebagai presiden lewat kepemimpinannya di PDI Perjuangan.
Karena itu, Ari menilai sangat wajar Universitas Pertahanan mengukuhkan gelar profesor kehormatan atau guru besar tidak tetap kepada Megawati.(gir/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang