Zainul: Menghina Presiden, Mengontrol Sifat Alamiah Kekuasan

Kamis, 10 Juni 2021 – 11:50 WIB
Direktur Eksekutif Politika Institute Zainul Abidin Sukrin. Foto: Ist for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Zainul Abidin Sukrin mengomentari munculnya pasal penghinaan terhadap presiden dalam rancangan undang-undang kitab hukum pidana (RKHUP), setelah sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkannya dari KUHP.

Menurut Zainul, pasal penghinaan presiden tidak diperlukan, mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi.

BACA JUGA: Pasal Penghinaan Presiden Muncul lagi, Padahal Sudah Dibatalkan MK, Yasonna Jawab Begini

"Saya kira menghina kekuasaan dalam negara demokrasi menjadi bagian untuk mengontrol kekuasaan. Maksudnya, menghina kebijakan dan kekuasaan politiknya, bukan pribadi presiden," ujar Zainul di Jakarta, Kamis (10/6).

Direktur Eksekutif Politika Institute ini juga memaparkan alasan lain. Bahwa di dalam kekuasaan ada kecenderungan untuk menyalahgunakan wewenang dan pengaruh.

BACA JUGA: Arsul Berkukuh Pasal Penghinaan Presiden Diperlukan, meski Sudah Dibatalkan MK, Begini Alasannya

"Kekuasaan itu cenderung korup, bila kekuasaan absolut maka akan korup secara absolut pula. Jadi, menghina presiden (kekuasaan dan kebijakan) merupakan nilai yang mengusung sistem politik yang demokratis. Mengontrol sifat alamiah kekuasaan yang cenderung dapat diselewengkan elite yang berkuasa," katanya.

Lebih lanjut Zainul mengatakan, sejarah panjang demokrasi yang diterapkan saat ini, terbentuk dan berkembang karena terbukanya ruang untuk menghina kekuasaan.

BACA JUGA: Sikap PPP Tegas Soal Pasal Perzinaan di RKUHP, Begini

Karena itu, kekuasaan tidak boleh mengontrol dan mengatur sedemikian rupa warganya.

Zainul kemudian mengungkap sejarah penyebab terjadinya reformasi agama di Eropa abad 15 lalu.

Menurutnya, karena kekuasaan gereja begitu kuat dan mengontrol tatanan sosial dan politik warganya.

Sementara di balik kekuasaan dan kekuatan gereja, ada festival korupsi yang terjadi.

"Sifat alamiah kekuasaan ini yang harus dihina, karena merugikan orang banyak. Penghinaan terhadap gereja di Eropa ini yang menjadi tonggak nilai demokrasi yang dianut oleh kita sampai saat ini. Yaitu kebebasan, kesetaraan, dan pengakuan hak," katanya.

Fakta lain, Zainul menyebut sejarah runtuhnya Orde Baru pada 1998 lalu.

Penyebabnya, karena kekuasaan pemerintah ketika itu terlalu absolut.

Kekuasaan begitu kuat dan mengontrol lini kehidupan warganya.

"Reformasi ditegakkan untuk mengusung sistem politik yang terbuka, terutama terbuka bagi warga negara untuk menghina kekuasaan yang korup dan yang menindas," katanya.

Zainul juga mengatakan, semakin berkembangnya negara demokrasi, maka akan semakin terbuka terhadap hinaan.

Karena menghina merupakan saluran ekspresi politik warga yang merasa tidak puas terhadap kebijakan dan kekuasaan negara.

"Puncak menghina kekuasaan itu pada pemilu. Untuk periode kekuasan saat ini, di tahun 2024 itu saluran yang konstitusional untuk melepaskan semua ketidakpuasan dan atau menghina kekuasaan," ucapnya.

Zainul menilai, pemilu merupakan tempat untuk menyeleksi orang-orang yang berbakat untuk berkuasa.

Ia pun menilai kampanye negatif sangat perlu dalam pemilu, untuk menyaring aktor dan elite yang berbakat.

"Artinya, menelanjangi kekuasaan yang korup. Jadi, menghina kekuasaan itu perlu. Tidak boleh dibatasi. Membatasi untuk menghina kekuasaan sebagai langkah membentuk kekuasaan yang absolut. Itu bertentangan dengan demokrasi," pungkas Zainul.(gir/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler