jpnn.com - JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai program pemerintahan Jokowi untuk redistribusi lahan 9 juta hektar telah ditunggu oleh masyarakat.
Namun, sebagai organisasi yang selama ini terus mendorong agar pemerintah menjalankan pembaruan agraria, yang di dalamnya termasuk program landreform (redsitribusi tanah) untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan atas tanah, KPA mempertanyakan sejumlah hal.
BACA JUGA: Besok Bareskrim Polri Periksa Denny Indrayana
Pertama, petani tak bertanah dan petani kecil (petani gurem) terbanyak berada di Jawa, Bali, Lampung, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
"Sementara alokasi tanah yang dibicarakan oleh pemerintahan Jokowi adalah tanah Kawasan Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK) yang notabene berada di luar Jawa," ujar Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin, dalam keterangannya, Kamis (5/3).
BACA JUGA: Peran Luhut Kuat, Ini Tanggapan Fahri Hamzah
Dikatakan, jika program redistribusi tanah ini dititikberatkan melalui program transmigrasi, maka pemerintahan Jokowi-JK harus mengingat bahwa kegagalan program transmigrasi adalah karena pemerintah enggan menyelesaikan masalah agraria, khusus di Pulau Jawa memilih menyelesaikannya dengan cara memindahkan penduduk keluar pulau.
Kedua, pemerintahan Jokowi-JK harus menata struktur agraria di Pulau Jawa dengan menata ulang pemilikan dan pengusahaan tanah di Jawa yang selama dikuasasi dan dikelola oleh Perhutani, PTPN dan perkebunan swasta terlebih dahulu, sebelum memilih program transmigrasi.
BACA JUGA: Ketua DPR: Gak Perlu Barter-Barteran
"Terdapat 2,7 juta hektar tanah Perhutani dan 650.000 hak guna usaha (HGU) di Pulau Jawa yang harus dikonversi menjadi koperasi-koperasi rakyat, yang dimiliki oleh petani secara kolektif atau pun Badan Usaha Milik Desa (Bumdes)," imbuhnya lagi.
Upaya penataan ulang ini penting dilakukan segera utamanya di tanah-tanah kawasan Perhutani, PTPN atau pun perkebunan swasta yang telah mengakibatkan konflik agraria, tumpang tindih klaim dengan masyarakat dan kondisi kemiskinan di pedesaan akibat ketiadaan atau hilangnya akses dan hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya.
Penataan ini akan jauh lebih berhasil dan bermanfaat bagi kelangsungan lingkungan hidup keluarga petani dan masyrakat umumnya di pedesaan.
Ketiga, KPA menilai bahwa pemilihan objek pembaruan agraria yang diutamakan dalam rencana yang dimaksud, seperti Hutan Produksi Konversi yang berada di bawah Kementerian Lingungan Hidup dan Kehutanan dan Areal Penggunaan Lain (APL) di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, menandakan bahwa pemerintahan Jokowi-JK tidak melihat bahwa persoalan agraria selama ini adalah akibat pemberian izin dan konsesi di masa lalu yang terus berlangsung hingga kini kepada pihak perusahaan perkebunan dan kehutanan, yang menyebabkan konflik agraria berkepanjangan di banyak wilayah di tanah-air.
Oleh karena itu, lanjut Iwan, pemerintah wajib meredistribusikan tanah-tanah yang seturut dengan pengembalian tanah-tanah masyarakat yang terampas. Dengan begitu izin HTI, HPH dan HGU perkebunan seharusnya menjadi prioritas upaya penataan pemerintah.
Keempat, dalam siarannya pemerintah juga menyebutkan akan mengalokasikan tanah tersebut untuk digunakan sebagai perkebunan tebu, sawit dan kedelai.
"Dalam pandangan kami, konsep estate pertanian bagi perusahaan akan membuka kembali pembelokan arah dan tujuan redistribusi tanah yang sejati kepada petani menjadi program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang digabungkan dalam Transmigrasi. Ini tentu mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya, bahkan sejak masa Orde Baru," bebernya.
Sudah selayaknya, kata Iwan, pemerintahan Jokowi-JK mendorong agar pelaksanaan redistribusi lahan bekerjasama dengan organisasi petani dan mendorong transformasi petani dan pertanian nasional dimiliki dan diusahakan oleh badan usaha koperasi yang dimiliki petani sebagaimana amanat UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
Atas pertimbangan di atas, KPA menilai bahwa pemerintahan Jokowi-JK haruslah berkonsultasi dan melibatkan organisasi petani yang memperjuangkan agenda pembaruan agraria dan penyelesaian konflik agraria, sebelum menentukan langkah lebih jauh terkait program redistribusi tanah ini.
Sebab, syarat keberhasilan redistribusi tanah yang telah dijalankan di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan adalah dukungan dan partisipasi aktif dari organisasi rakyat (petani) yang kuat. "Jika tidak, kami khawatir bahwa program ini akan menjadi proyek atas nama petani semata, yang rawan dimanipulasi dan mengalami kegagalan," pungkas Iwan.
Diketahui, Jumat (27/2) di Istana Kepresidenan, Presiden Jokowi memimpin rapat terbatas terkait program distribusi lahan 9 juta hektar bagi masyarakat dengan lima kementerian.
Rapat dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar; Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ferry Mursyidan Baldan; Menteri Pertanian, Amran Sulaiman; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar; Menteri Sekretaris Negara, Pratikno; dan Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tanah tersebut bisa berasal dari tanah yang berada di bawah otoritas Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau tanah dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, dimana tanah-tanah tersebut akan dilepas menjadi tanah bagi petani, serta pengakuan dan penghormatan hak ulayat masyarakat hukum adat dan sumber lainnya.
Distribusi 9 juta hektar lahan tersebut diperuntukkan bagi program yang tertuang di Nawa Cita, yaitu meningkatkan kepemilikan petani atas tanah pertanian menjadi rata-rata 2 hektar (saat ini kurang dari 0,8 hektar) dan meningkatkan swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia Beri Sinyal Tolak Tawaran Pertukaran Tahanan Australia
Redaktur : Tim Redaksi