jpnn.com - JAKARTA – Menteri Pariwisata Arief Yahya sadar betul dengan kebijakan bebas visa kunjungan. Namun, bagi Arief, deregulasi memang selalu menciptakan kontraksi. Ada yang pro, tak sedikit yang kontra.
Hal itu memang normal, termasuk dalam manajemen. Berbekal pengalamannya, Arief sadar, risiko dan benefit bak dua sisi mata uang yang harus diambil Chief Executive Officer.
BACA JUGA: Alhamdulillah... Industri Galangan Kapal Di Batam Mulai Menggeliat
“Bisnis itu risk taker, kalau tidak berani ambil risiko bisnis, sebaiknya bergerak di yayasan sosial saja,” ujar Arief, Minggu (8/11).
Arief mencontohkannya dengan pengalannya ketika sepuluh tahun memimpin Telkomsel. Salah satunya ialah tentang kartu perdana. Jika Telkomsel ngotot dengan kartu perdana senilai Rp 100 ribu, pasti akan kalah bersaing dengan kompetitor.
BACA JUGA: Perum PNRI Kupang Bikin Direktur Keuangan dan Produksi Terkaget-kaget
Hal itu menyadarkan Arief bahwa bisnis telekomunikasi bukan di starter pack. Bukan mengejar untung di muka saat orang membeli kartu perdana, tetapi services pada pulsa. Karena itu harus menjaga kualitas layanan, tidak putus nyambung, dan tersebar di seluruh Indonesia.
“Wong mau beli produk kita kok sulit? Sama dengan Bebas Visa, mau datang berwisata ke Indonesia saja kok harus mengurus Visa lama? Tempatnya juga terbatas? Bagaimana kalau tinggal di kota yang jauh dari kantor perwakilan Indonesia di kota itu? Harus menunggu lama lagi? Wajar jika Malaysia dengan 164 Negara bebas masuk tanpa visa itu menghasilkan 27 juta wisman, tiga kalinya Indonesia yang hanya 9 juta?” jelas Arief yang didampingi I Gede Pitana (Deputi Pemasaran Luar Negeri dan Nia Niscana (Asdep Eropa-Amerika, Afrika dan Asia Timur Tengah) itu.
BACA JUGA: Ini Kata Mentan Saat Membuka Acara Bulan Mutu Pertanian
Arief sadar, kebijakan bebas visa kunjungan akan menghilangkan USD 35 per wisatawan dari pengurusan visa. Namun, nominal itu sangat kecil dibandingkan dengan turis yang membelanjakan uangnya di Indonesia.
Rata-rata turis Asia mengeluarkan USD 1.200. Sedangkan turis Arab Saudi menggelontorkan USD 1.500. Sementara itu, turis UEA menghabiskan USD 1.200.
“Saya bisa membayangkan untuk sukses mengalahkan Malaysia dan Thailand sekalipun. Syaratnya, harus kompak, Indonesia Incorporated, seperti yang terjadi di dua negara tetangga itu,” beber Arief.
Sama halnya dengan pencabutan CAIT (Cruising Application for Indonesian Territory) untuk yacht atau kapal pesiar. CAIT satu-satunya di dunia hanya di Indonesia.
Dibutuhkan waktu tiga minggu untuk mengurus dokumen izin masuk perairan Indonesia. Alhasil wisatawan asing memilih Singapura, Perth dan Darwin. Acapkali sisanya dijaring Malaysia dan Singapura.
“Padahal, surganya bahari di dunia itu ya Indonesia, yang selalu kita promosikan dengan 17.000 pulau itu,” tambah Arief.
“Ada 5.000 sampai 10.000 yacht yang sailing di sekitar Indonesia, yang parkir di Marina Singapore dan Australia. Yang masuk baru 700-an. Mereka hanya menjadikan perairan Indonesia sebagai halaman tempat bermain, tidak sampai mengetuk pintu, dan masuk ke rumah maritim Indonesia,” tambah Arief.
“Rumitnya perturan yang membuat mereka mundur sebelum mengurus. Inilah yang ingin saya katakan, jangan terlalu mengedepankan risiko, jangan menakut-nakuti dan menempatkan risiko sebagai poin paling dominan. Jangan horror, nanti orang takut datang,” ujar pria yang dinobatkan sebagai The Most Inspirational CEO oleh Mens Obsession Award 2014, Green CEO, The Best Green CEO Majalah Warta Ekonomi 2014, dan The Best CEO 2014 Indonesia Leadership Award SWA itu.
Arief juga setuju bahwa pendekatan security harus sempurna. Dia tak membantah bahwa security memang prasayart utama pengembangan wisata. Pariwisata berada dalam ancaman jika tak mampu mengatasi ancaman abajak laut, sarang teroris, banyak perampok, atau pencuri.
Tetapi, khusus Yacht, hampir pasti wisatawan yang berkantung tebal. Bukan imigran gelap atau teroris yang menyamar.
“Satu yacht itu rata-rata menghabiskan Rp 1 miliar untuk sailing. Kalau kita bisa menangkap 5.000 yacht, sudah akan memutar Rp 5 triliun dari mengelola sektor wisata bahari ini. Bagaimana untuk memperkecil risiko? Gunakan teknologi! Semua yacht yang masuk diharuskan memasang alat multifungsi, bisa untuk kode elektronik, yang berisi data kapal, data penumpang, scanning file passport, nomor mesin dan rangka, dan bisa dipantau dengan satellite,” ungkap pengarang buku bertema marketing dan manajemen Paradox Marketing dan Great Spirit Grand Strategy itu.
Dia menjamin, dari jarak 100 mil sebelum sampai di sebuah pulau, yacht bisa terdeteksi, dipantau, diajak komunikasi, diarahkan dan diantisipasi. Jika tidak mengikuti aturan, tindakan tegas perlu dilakukan.
“Kalau mau menang, memang ada risikonya. Seperti main tenis saja, kalau mau mematikan lawan itu harus berani smash. Padahal smash yang salah bisa menyangkut net, bisa bola keluar, bisa pukulannya tidak kena. Kalau tidak berani ambil risiko, ya tidak usah main, dan dipastikan tidak akan bisa memenangkan pertandingan,” kata pria lulusan Teknik Elektro Telekomunikasi, Institut Teknologi Bandung (IBB) 1986, Master of Science Telematics, University of Surrey, UK, 1994 Ilmu Ekonomi - Manajemen Bisnis, Unpad Bandung, 2014 itu. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengamat: Kebijakan Ekonomi tak Didukung Sektor Hukum
Redaktur : Tim Redaksi