jpnn.com, JAKARTA - Ketua Presideum INSP!R Indonesia Yatini Sulistyowati melontarkan kritik pedas terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
Pasalnya, alih-alih meningkatkan kewenangan dan tugas BPJS, RUU Kesehaan dinilai memangkas independensi dan kewenangan BPJS dengan memposisikan Direksi dan Dewan Pengawas kedua BPJS di bawah menteri.
BACA JUGA: Soal RUU Kesehatan, DPR RI: Jangan Sampai BPJS ke Arah Komersialisasi
"Kehadiran draft RUU Kesehatan menjadi kontraproduktif bagi kedua BPJS untuk mengelola jaminan sosial dengan lebih baik lagi," kata Yatini dalam keterangannya di Jakarta, Senin (20/2).
Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yaitu melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Dan Pasal 13 ayat (2) huruf a, khusus bagi bagi BPJS Kesehatan wajib melaksanakan penugasan dari Kementerian Kesehatan.
BACA JUGA: Awas, RUU Kesehatan Berpotensi Mengancam Independensi BPJS
Tidak hanya itu, lanjut Yatini, proses penyampaian laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden harus melalui menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan melalui Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 22 ayat (2) huruf d RUU Kesehatan.
Proses pemilihan Direksi dan Dewan Pengawas kedua BPJS pun dalam kendali Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan, yang diberi kewenangan membentuk panitia seleksi bersama Menteri Keuangan atas persetujuan Presiden. Hal ini diatur dala Pasal 28 ayat (1) RUU Kesehatan.
BACA JUGA: Organisasi Profesi Soroti Hal Ini dari RUU Kesehatan
Pada UU BPJS, Direksi dan Dewas BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dan Direksi maupun Dewas tidak bisa melaksanakan penugasan dari Menteri. BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri, dengan tembusan kepada DJSN.
Kedua BPJS mengelola dana masyarakat, bukan dana APBN/APBD.
"Oleh karenanya pengelolaan dana masyarakat ini harus terhindar dari intervensi pihak lain seperti menteri," beber Yatini.
Dia menegaskan jika ada dana APBN dan APBD yang dibayarkan ke BPJS, itu merupakan kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah untuk membayar iuran JKN bagi masyarakt miskin ke BPJS Kesehatan, kewajiban Pemerintah membayar iuran JKN bagi PNS, TNI dan Polri sebagai Pemberi Kerja bagi PNS, TNI, dan Polri.
"Itu semua amanat UU SJSN kepada Pemerintah, termasuk pembayaran iuran Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) kepada BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan amanat UU Cipta Kerja," ucap Yatini.
Dia mengingatkan jika pengelolaan dana masyarakat dapat diintervensi oleh menteri.
"Akan berpotensi merugikan masyarakat dan pekerja/buruh, karena dana untuk membayar manfaat jaminan sosial akan terganggu," kata Yatini.
Menurutnya, Status Badan Hukum Publik bagi BPJS harus dimaknai sebagai bentuk independensi BPJS dalam mengelola jaminan sosal, yaitu bertanggungjawab langsung ke Presiden, bukan bertanggungjawab melalui menteri.
INSP!R Indonesia yang merupakan koalisi berbagai organisasi masyarakat yang peduli pada pelaksanaan jaminan sosial menilai kehadiran RUU Kesehatan akan menurunkan kualitas pengelolaan jaminan sosial yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas pelayanan dan manfaat jaminan sosial kepada rakyat Indonesia.
"INSP!R Indonesia meminta DPR RI dan Pemerintah mengurungkan niat untuk merevisi UU BPJS di RUU Kesehatan," tegas Yatini.
INSP!R Indonesia meminta agar DPR RI dan Pemerintah fokus untuk meningkatkan manfaat dan layanan program jaminan sosial, dengan tetap memposisikan kedua BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden, tanpa melalui menteri.
"INSP!R Indonesia menolak keinginan DPR dan Pemerintah merevisi UU BPJS di RUU Kesehatan," ungkap Yatini.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul