jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum APPERTI (Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia) mengkritik pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) atas institusi pendidikan yang berlaku selama ini.
Sesuai regulasi, lembaga pendidikan yang ikut serta mencerdaskan bangsa dibebaskan dari kewajiban membayar PBB.
BACA JUGA: Kemendikbudristek Siapkan Fasilitas bagi PTS Kecil Siap Merger, Buruan Daftar!
Ketua Umum APPERTI Prof Dr Jurnalis Uddin mengatakan berdasarkan UU No.12 Tahun 1985 juncto UU No.12 Tahun 1994 pasal 3 ayat 1, yayasan pengelola pendidikan mestinya tidak dikenakan PBB.
"Nyatanya tetap kena bahkan naik setiap tahun mengikuti NJOP," kata Jurnalis Uddin, dalam webinar 'PTS Jadi Objek Pajak, Tepat atau Perlu?' yang digelar Universitas Yarsi, Selasa (30/11) .
BACA JUGA: Kemendikbudristek Berharap 500 PTS Kecil Digabung Tahun Depan, Kampus Apa Saja?
Pasal 3 ayat (1) menyebutkan objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksud-kan untuk memperoleh keuntungan.
Prof Jurnalis menegaskan Surat Edaran Dirjen Pajak No. S 1683/Pj.6/1994 yang mengenakan pajak atas perguruan tinggi swasta, secara terang-terangan menabrak undang-undang tersebut.
BACA JUGA: Kasus Ini jadi Pelajaran Penting, Jangan Sembarangan Memilih PTS
Surat Dirjen Pajak yang muncul sebulan setelah UU No.12 Tahun 1994 itu disahkan DPR RI, menyatakan bahwa objek pajak yang dikuasai, dimiliki atau dimanfaatkan PTS ialah objek PBB. Nilainya sebanyak 50 persen dari nilai seharusnya.
"Jelas menabrak undang-undang, ditambah lagi kebijakan ini tidak diikuti oleh KPP di bawahnya yang tetap mengenakan PBB secara penuh kepada lembaga pendidikan," tegasnya.
Dia mencontohkan kasus di Universitas Yarsi yang menerima surat pemberitahuan pajak terutang PBB tahun 2013. Rincian PBB Yarsi oleh Dispenda DKI Jakarta senilai Rp 415,798 miliar, kemudian PBB-P2 yang terutang adalah 0,3 persen dikalikan Rp 415,798 miliar atau senilai Rp 1,25 miliar.
"Itu naik 50 persen dari PBB 2012, tidak ada keringanan 50 persen seperti kebijakan Surat Dirjen Pajak, padahal semestinya lembaga pendidikan itu tidak dikenakan pajak PBB," cetus Jurnalis.
Prof Jurnalis juga menyinggung surat Dirjen Pajak bahwa perguruan tinggi swasta (PTS) yang dikenakan PBB adalah yang cenderung memperoleh keuntungan.
Dia menduga ada salah pengertian terkait status yayasan non profit atau tidak mencari untung, sehingga muncul pemikiran dinas perpajakan bahwa perguruan tinggi swasta itu tidak boleh mendapat untung.
Menurutnya, jika PTS tidak boleh untung bagaimana harus memenuhi kebutuhan gedung, teknologi dan alat yang harus diganti.
"Kalau tidak punya sisa hasil usaha alias rugi pasti PTS tersebut sudah lama dikubur," ucapnya.
PTS mutlak harus punya sisa hasil usaha, tetapi setelah dengan UU No 16 Tahun 2001 juncto No.28 tahun 2004, sisa hasil usaha harus diinvestasikan kembali ke PTS. Tidak boleh dibagikan kepada pembina, pengurus dan pengawas
"Yang membuat terobosan hanya Kota Surabaya yang membebaskan PTS dari kewajiban membayar PBB," imbuh Jurnalis.
Sementara itu, Inge Diana Rismawanti, kasubdit Penyuluhan Perpajakan menyebutkan sebelum UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) jasa pendidikan tidak dikenakan PPN. Namun, setelah HPP diundangkan, jasa pendidikan dikenakan PPN.
"Kecuali jasa pendidikan yang tidak memungut iuran atau memungut iuran dalam batasan jumlah tertentu tidak kena PPN," kata Inge.
Ditambahkannya, pemerintah berkaca pada negara tetangga seperti Singapura, Vitenam, Thailand, China yang mengenakan PPN pada jasa pendidikan. Misalnya di Vietnam 5 persen, Cina 6 persen, Singapura 7 persen, dan Thailand 7 persen.
"Mereka termasuk negara yang mengenakan pajak, jadi jasa pendidikan ini tidak terkecualikan dikenai pajak," tuturnya. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesya Mohamad