jpnn.com, JAKARTA - Ketua DPR Setya Novanto kembali menjadi tersangka dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Hal tersebut diketahui setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru kepada pria yang juga Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Sprindik baru untuk Setnov itu diketahui dari surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) bernomor B-619/23/11/2017. Dalam surat yang dikeluarkan KPK pada Jumat (3/10) atau usai Setnov bersaksi di sidang terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong itu, tercantum sprindik nomor 113/01/10/2017 tertanggal 31 Oktober sebagai salah satu dasar penerbitan SPDP.
BACA JUGA: Tidak Ada Alasan Buat Setya Novanto Mangkir Panggilan KPK
Jawa Pos mendapatkan salinan SPDP itu kemarin (6/11). Surat itu ditandatangani Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Brigjen Aris Budiman. Sumber Jawa Pos di internal KPK membenarkan penerbitan SPDP itu. ”Iya, benar (keluar SPDP baru untuk Setnov, Red),” ujarnya.
Sumber Jawa Pos di KPK yang lain menyebutkan bahwa nama terduga yang tertera dalam SPDP itu sudah pasti tersangka. Di SPDP itu memang menyebutkan Setnov sebagai pihak yang diduga melakukan tindak pidana korupsi proyek e-KTP di Kemendagri tahun anggaran 2011-2012 bersama Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Narogong, Irman dan Sugiharto.
BACA JUGA: Setnov Ogah Diperiksa KPK Tanpa Seizin Istana
”Di penerbitan sprindik itu saja sudah pasti ada nama yang diduga atau tersangka. Diduga itu bahasa lain (dari tersangka, Red),” terang penyidik KPK yang enggan disebutkan namanya itu.
Dia pun memastikan Setnov sudah tersangka seiring keluarnya sprindik baru tersebut. ”Di KPK itu kalau ada penyidikan sudah pasti ada tersangka,” tuturnya.
BACA JUGA: Wakil Ketua MPR Minta Polisi Adil Sikapi Meme Setya Novanto
Sebelumnya, KPK pernah menetapkan Setnov sebagai tersangka pada 17 Juli lalu. Hanya, dia berhasil lolos setelah menang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 29 September lalu.
Penyidikan atas penetapan tersangka di KPK memang tidak sama seperti di kepolisian. Sebab, KPK bukan hanya berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja. Tapi juga UU Nomor 30/2002 tentang KPK. Di UU itu mengatur bahwa prosedur khusus pemeriksaan tersangka yang diatur dalam UU lain tidak berlaku terhitung sejak penetapan tersangka oleh KPK.
Di KPK juga tidak berlaku surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Seperti di kepolisian atau kejaksaan. Artinya, setiap kasus di komisi antirasuah yang naik ke penyidikan harus diselesaikan hingga berkekuatan hukum tetap. ”Penetapan tersangka itu ketika dua alat bukti sudah ditemukan,” kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman menambahkan, KUHAP tidak mengharuskan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana disebut dengan tersangka. Penggunaan kata “diduga” itu umumnya merupakan strategi penyidik. ”Pada posisi sprindik, hal seperti itu (tidak disebut tersangka) sudah biasa. Yang benar justru seperti itu,” terangnya.
Strategi tersebut umumnya digunakan ketika penyidik masih mengumpulkan barang bukti dan memeriksa para saksi. Tujuannya, agar seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tidak merasa menjadi main target saat penyidikan baru digelar. ”Kecuali kalau tangkap tangan, di sprindik dan SPDP biasanya sudah pasti ada kata tersangka karena barang buktinya jelas,” paparnya.
Sampai saat ini, KPK belum mengumumkan secara resmi penetapan tersangka Setnov. Juru Bicara KPK Febri Diansyah juga belum mau membenarkan atau membantah SPDP itu. Dia hanya menyatakan bahwa pihaknya masih fokus pada penanganan perkara e-KTP dengan terdakwa Andi Narogong dan tersangka Anang Sugiana Sudihardjo. ”Belum tahu (ada SPDP, Red),” kata Febri.
Penetapan tersangka di awal penyidikan memang dihindari KPK. Sebab, berkaca pada sebelumnya, KPK kalah oleh Setnov dalam praperadilan di PN Jakarta Selatan. Kala itu, hakim Cepi Iskandar menganggap penetapan orang nomor satu di parlemen itu sebagai tersangka di awal penyidikan tidak sah.
Nah, pertimbangan hakim itu mungkin menjadi pertimbangan KPK agar tidak mengumumkan Setnov sebagai tersangka di awal penyidikan. Hal itu sebelumnya disampaikan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Danil Anzar Simanjuntak. Dahnil menyarankan KPK langsung menahan Setnov agar tidak beralasan sakit ketika diperiksa sebagai tersangka.
”Saran saya, Pak Setya Novanto harus terus rutin makan obatnya dan jangan terlalu letih bekerja memikirkan rakyat agar bisa tetap sehat dan bugar,” sindir pria yang akrab disapa Anin tersebut.
Untuk diketahui, KPK kemarin sejatinya mengagendakan pemeriksaan Setnov. Hanya, dia tidak hadir. Setnov meminta KPK untuk izin ke Presiden Joko Widodo sebelum melakukan pemeriksaan.
Tidak hadirnya Setnov dari pemeriksaan KPK kemarin merupakan yang ketiga kalinya. Di pemanggilan sebelumnya, Setnov beralasan menghadiri kegiatan kenegaraan. Yakni, mengunjungi konstituennya di beberapa daerah pemilihan (dapil). Tidak hadirnya Setnov itu menghambat penyidik KPK dalam melengkapi berkas acara pemeriksaan (BAP) di penyidikan e-KTP.
Terpisah, kuasa hukum Setnov Fredrich Yunadi mengaku tidak tahu menahu perihal SPDP yang menyebut nama kliennya. Fredrich mengaku aneh mengapa surat yang memiliki format mirip sprindik itu justru beredar luas. Padahal sifatnya seharusnya rahasia. ”Saya baru baca dari Anda, belum tahu tuh. Aneh kok beredar di media dan saya maupun klien saya tidak tahu,” kata Yunadi saat dihubungi.
Yunadi belum meyakini bahwa Setnov saat ini sudah berstatus tersangka. Biasanya, KPK melalui pimpinan sendiri sudah mengumumkan. Yunadi menilai bahwa surat itu hanya bentuk tekanan dari KPK terhadap kliennya. ”Berarti ada oknum KPK yang membocorkan dong. Itu biasa cara teror yang dilakukan oknum KPK,” ujarnya.
Terkait dengan ketidakhadiran Setnov di pemanggilan ketiga KPK kemarin, Yunadi menyatakan bahwa pihaknya mendasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 76/PUU-XII/2014. Dalam putusan itu, MK telah membatalkan ketentuan pasal 245 ayat 1 UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, terkait pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Dalam putusan itu, MK membatalkan ketentuan kewajiban penegak hukum meminta ijin pada MKD untuk memeriksa anggota DPR. Namun, MK dalam putusannya menambahkan keterangan pasal 245 ayat 1. Di mana pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden.
"Sangat jelas ayat adalah tentang landasan pada ayat (1) sehingga penafsiran 245 tetap wajib izin tertulis dari presiden,” tandasnya.
Alasan Setnov yang meminta KPK izin presiden itu sejatinya masih menjadi perdebatan. Sebab, di pasal 245 ayat 3 UU MD3 masih tetap berlaku menjadi satu kesatuan makna dengan Pasal 245 ayat (1).
Isi pasal 245 ayat 3 itu mengatur bahwa persetujuan tertulis atau izin presiden untuk memeriksa anggota DPR tidak berlaku bila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, serta disangka dengan pidana khusus.
Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menyatakan bahwa dirinya mengetahui perihal pemanggilan Setnov oleh KPK. Namun, Idrus mengaku tidak tahu menahu perihal surat yang dilayangkan kuasa hukum Setnov kepada KPK. ”Saya enggak tahu. Saya enggak bisa menafsirkan karena surat itu terkait dengan posisi Pak Novanto sebagai Ketua DPR,” ujarnya.
Idrus hanya menyebut bahwa pada hari Sabtu (4/11) dirinya sempat berkomunikasi dengan Setnov yang tengah berada di Probolinggo, Jawa Timur. Dalam komunikasi via telepon itu, Idrus menyatakan bahwa Setnov memang belum bisa memenuhi panggilan dari KPK. ”Pak Setya Novanto menyatakan bahwa dirinya ingin melanjutkan dulu bertemu rakyat selama reses, pada saatnya nanti akan memenuhi panggilan KPK. Tapi untuk selebihnya, silakan tanya lawyer-nya,” tandasnya. (tyo/bay/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Memangnya Sebar Meme Bergambar Setnov Kejahatan Luar Biasa?
Redaktur : Tim Redaksi