Interupsi bagi Pencari Kekuasan

Senin, 07 September 2009 – 11:56 WIB
Oo, kekuasaan betapa mempesonanya engkau sehingga selalu dikejar-kejar orang-orang dengan cara yang pragmatisme, bahkan kadang bila perlu dengan cara MachiavelisSeolah-olah kekuasaan adalah segala-galanya yang harus direbut manusia, karena jika engkau tetap menjadi penonton maka engkau akan menjadi mangsa dari kekuasaan

BACA JUGA: Ngomong Kredit Sambil Puasa

Homo homini lupus
Bukan homo homini socius.

Astaga, Indonesia memang belum kiamat

BACA JUGA: Minke Baru Antitesis Neoliberal

Tetapi aku katakan kepadamu sesungguhnya kekuasaan, apakah menjadi pejabat dan wakil rakyat adalah pelayan masyarakat
Zaman sudah berubah, Saudara

BACA JUGA: Gerbong, Suksesi & Rekonsiliasi

Ini bukan masa Orde Baru, ketika kekuasan tampil bagai bangsawan yang harus dilayani meski dalam bentuk modern.

Fantasi kekuasaan memang luar biasaWajah kekuasaan kadang menjelma dalam kekuatan uang, yang seolah-olah bisa membeli segalanyaTodung Mulya Lubis, lawyer dan penyair itu pernah melukiskan kekuasaan dalam sebuah pidato kebudayaan menyambut HUT ke 32 Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki sembilan tahun silam, dengan sangat bagus.

Mulya mengutip cerita pendek Satyagraha “Oyik”  Hoerip bertajuk “Pamanku dan Burung-Burungnya.” Oyik menulis, “Otakku memaki-maki, bahwa di tengah resesi ekonomi dunia ini, ternyata ada orang-orang di negeriku yang enak saja membuang-buang hanya untuk membeli seeor burungPadahal berjuta-juta orang lain di sekitar mereka mati-matian mencari sepanjang hidup mereka, dengan banting tulang sekalipun, dan tak kunjung mendapatkan uang sebanyak itu..”

Hari ini pun idemdito sajaKetika tak lama lagi sejumlah anggota DPR-DPRD-DPD dan MPR, bahkan juga para menteri baru dalam kabinet akan dilantik, puluhan juta rakyat miskin masih bergumul dengan pertanyaan: apa besok makan? Bukan besok mau makan apa, atau yang lebih vulgar: besok siapa yang kita makan? Tidak! Rakyat negerimu masih banyak yang menderita, Tuan-Tuan yang terhormat!

Ketika krisis financial global masih mencekam dunia dan imbasnya merembes kepada petani karet dan sawit di Labuhanbatu dan Madina, apakah pantas ada yang masih berani mengolah duit rakyat yang bernama APBN dan APBD demi kepentingan golongan, atau pribadi? Bukankah berbagai infrastruktur seperti jalan, drainase, irigasi, listrik, air minum dan sebagainya niscaya merupakan skala prioritas yang mendesak untuk ditunaikan?

Berbagai kasus korupsi yang ramai ditulis jurnalis di suratkabar, kadang membuat kita sebalApakah nurani mereka tidak lagi sensitive dan nekad untuk hidup mewah sementara ada orang yang kelaparan?

Ironisnya dalam berbagai pidato di upacara ini dan itu, atau talking-talking di depan wartawan, selalu kita dengan bahwa misi pemerintah adalah membebaskan penduduk dari lilitan kemiskinan.

*

Kadang kita lupa bahwa era reformasi yang tercetus sejak 1998 silam, adalah transisi dari pemerintahan yang represif dan otoritarian menuju pemerintahan yang demokratisTak bisa disangkal bahwa makna demokratis adalah ketika sebuah pemerintahan melaksanakan program yang berbasis kepada suara rakyat, yang puluhan juta jiwa di antaranya masih melarat.

Bahkan, mereka yang belum terkategori sebagai warga miskin tak mustahil terdegradasi menjadi miskin, jika berbagai masalah yang mencemaskan kita tak segera ditanggulangiBeberapa hari lalu, Harian KOMPAS misalnya melukiskan betapa kita terjebak kepada ancaman pangan yang luar biasaBahkan, garam pun, walaupun wilayah negeri ini terhampar dengan laut yang luas, masih kita impor dari negeri-negeri seberang.

Belum lagi pola perdagangan kita yang kecanduan mengekspor komoditas mentah sangat terpukul ketika order dari luar negeri anjlok akibat krisis financial globalSementara industri bahan jadi  dalam negeri belum bisa bersaing dengan produk industri asing yang malah menyerbu ke Indonesia.

Tak hendak merepet-repet, tetapi memang berjibun masalah bangsa bak hantu di siang bolongKepemilikan saham asing di perbankan kita sangat dominan dan liberal bahkan dibanding Amerika Serikat, Singapura dan AustraliaJika di sana dibatasi hingga 30%, mengapa di negeri kita melampaui 50% di beberapa bank nasional?

Anda boleh terperanjat, tapi nyatanya  UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tak mengatur batasan kepemilikan asingSiapapun dapat membeli saham Bank UmumAh, rasanya kita sebagai bangsa yang merdeka selama 64 tahun semakin didera sepi yang luar biasa.

Janganlah bangsa ini mengalami nasib seperti mitologi Sisyphus yang membawa batu ke puncak gunung, tetapi ketika hampir tiba di puncak, lalu ditendang oleh Dewa ZeusBegitu berkali-kali Sisyphus melakukannya dengan sia-sia belaka.

*

Kekuasaan harus menyedari proses mencemaskan yang sedang dan masih akan terus berlangsung ituGejala mereka yang mendekatkan diri kepada kekuasaan, atau setidaknya berharap diajak masuk ke dalam kekuasaan, tanpa disadari bisa meluputkan perhatian kepada masyarakatWarga bisa semakin terlupakan, manakala semua pihak berlomba-lomba masuk ke pangkuan kekuasaan.

Fenomena ini belakangan ini kian mengkristalDiskursus politik paling kontemporer yang dipertontonkan kepada khalayak akan semakin mempersempit artikulasi kepentingan masyarakatJika ini menjadi kenyataan, kita serasa kembali ke era Orde BaruPadahal keseimbangan antara yang berkuasa dan dan tak berkuasa sangat diperlukan agar kontrol publik tak mati serta suara dan kepentingan rakyat terus bisa dikumandangkan.

Tak hendak mempertentangkan antara kekuasaan dan rakyat, karena memang harus diakui bahwa urusan manusia dan masyarakat itu sebagian diatur oleh negaraTetapi tetap sajalah penting adanya atmosfer kebebasan yang tak bisa direnggut oleh pemerintah, melainkan menyerahkannya kepada masyarakatSiapapun Anda, bukankah kita bisa melakukan auto-regulation, mengatur diri sendiri?

Saya kira inilah demokrasiDalam demokrasi, kekuasaan itu menyebar dan tak hanya terpusat di tangan pemerintahMemang, jika fenomena berbagai partai politik besar dan menengah di negeri ini berduyun-duyun masuk ke  dalam pemerintahan, toh masih ada civil societyHarapan kita tak berarti ada konfrontasi antara pemerintah dan civil society, tapi hal ini tak mustahil terjadi jika kekuasaan dimaksudkan hanya demi kekuasaan belaka.

Bergidik bulu kuduk kita jika terkenang masa Orde Baru ketika kekuasaan yang sedemikian besar telah membungkam rakyatKelihatannya aman tentram saja meskipun yang terjadi adalah stabilitas keamanan yang semuOrang diam bukan berarti tenang, tetapi karena ketakutan terhadap rezim yang terlalu kuat, yang dapat memenjarakan orang jika dianggap mengusik kekuasaan.

Menyongsong pelantikan anggota DPR-DPRD-DPD dan MPR seraya menunggu pengumuman kabinet baru, kita berharap demokrasi tetap berdaging dan berdarahJangan sampai cuma tulang-tulang kurus kering tanpa sumsum, sementara banyak orang hendak ikut serta dalam gerbong kekuasaan selama lima tahun mendatangSekali lagi:  kekuasaan tidak segala-galanyaKekuasaan adalah abdi rakyat alias pelayan masyarakat***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Debat Tak Kunjung Usai


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler