Ngomong Kredit Sambil Puasa

Jumat, 28 Agustus 2009 – 18:48 WIB
SUASANA Ramadhan tak meluputkan kita untuk berbicara tentang isu ekonomi yang walaupun rumit tapi sangat penting bagi masa depan bangsaTerakhir adalah kasus BI rate yang berkali-kali turun, dan disusul kesepakatan 14 bank nasional, termasuk bank asing maupun campuran untuk menyahuti sektor riil yang merasa kurang dikucuri kredit bank

BACA JUGA: Minke Baru Antitesis Neoliberal



Syukurlah
Tiga bulan ke depan, bunga deposito menjadi 8% dari tadinya 10%

BACA JUGA: Gerbong, Suksesi & Rekonsiliasi

Lalu, disusul penurunan suku bunga kredit
Mungkinkah?

Kita surut dulu ke belakang, bahwa menurut para bankir, harga kredit dibentuk oleh empat faktor

BACA JUGA: Debat Tak Kunjung Usai

Yakni, biaya dana atau cost of fund, margin keuntungan, biaya operasional dan premi risikoBiaya dana dan margin keuntungan adalah faktor dominant dengan pengaruh 80% atas penentuan bunga kredit.

Syahdan, biaya dana meliputi 6,66%, margin keuntungan 5,85%, biaya operasional 1,97% dan premi risiko hanya 0,3%Jika semua ditotal, ditemukanlah angka 13,78% yang merupakan rata-rata bunga kredit di perbankan nasional.

Ketahuanlah masalahnya, ternyata biaya dana dan margin keuntungan sangat tinggi, mencapai 12,51%Dana ini dimiliki oleh para deposan besar dan pemegang saham perbankanArtinya, hanya oleh segelintir orang saja.

Padahal, genesis kedua dana itu, baik deposan maupun pemegang saham tak bisa dilepas dari dana orang banyak, baik masyarakat yang bergerak di sektor keuangan/saham dan perekonomian, maupun para buruh di sektor perindustrian dan perdagangan.

Teori klasik mengatakan bahwa modal sebesar apapun hanya akan berkembang jika “bersatu” dengan aktifitas perekonomian masyarakat maupun buruhProses itulah yang melahirkan laba.

Sebagian di antara laba itu, kemudian menjelma menjadi deposito, bahkan kepemilikan saham di perbankanTak heran jika 99% dana pihak ketiga di bank hanya dikuasai oleh 1% orangkaya di negeri iniSisanya, 1% adalah milik 99% deposan kecil. 

Nah, riwayat asal usul dana itu mestinya secara moral  mendorong bankir menurunkan margin keuntungan maupun penurunan biaya dana.


Ternak Uang
Sebetulnya, jauh sebelum masa krisis finansial global 2008-2009, cerita serupa sudah terjadi pada 2006 silamKala itu, Wapres MJusuf “JK” Kalla sempat melontarkan istilah dramatis yang membuat kuping para bankir memerahIntinya, perbankan lebih suka bermain SBI

Lompat ke depan, kita ingat posisi kredit pada Minggu Ketiga Maret 2009 dibanding Desember 2008 hanya beringsut sedikitDari Rp 1.285 triliun menjadi Rp 1.286 triliunNamun, total laba bersih tetap tumbuhMengapa? Karena bank gemar lebih lama menahan suka bunga kredit tetap tinggi.

Jadi meskipun  suku bunga acuan atau BI rate turun menjadi 7,5% pada April 2009 lalu dan turun lagi jadi 7,25% pada Mei 2009, suku bunga simpanan turun 81 bp (basis point) menjadi 7,89%Tapi suku bunga kredit hanya turun 42 bp menjadi 13,79%Tadinya, selisihnya hanya 400 bp, kini 590 bpSelisih bunga kredit dan BI rate pun tetap  senjang, dan berapa pula marginnya?

Terdengarlah istilah “peternakan uang” meskipun berasal dari dana pihak ketiga (DPK), dan inilah yang menghidupkan perbankanTapi uniknya perbankan segan mengucurkan kredit.

Bejana Berhubungan

Logika insider yang sering terdengar adalah sangat tergantung kepada demand di sektor riilJika demand bergairah, dan tinggi, perbankan sudah pasti melemparkan dananya ke masyarakat

Jika sektor riil macet, memang tercermin dari data real, bahwa kalangan perbankan lebih menyukai menyimpan uangnya di SBIBahkan, pernah terbukti dengan besaran sekitar Rp 200 triliun beberapa tahun laluNamun, Rp 60 triliun di antaranya adalah uang PemdaBahkan sekitar Rp 70 triliun dana pemerintah pusatDus, dana pihak ketiga sekitar Rp 70 triliun.

Jika sektor rill sehat, logis bank memilih melemparkan dananya ke masyarakat daripada menyimpannya di SBIKarena, marginnya pasti lebih besarLagi pula, hubungan antara sektor riil dan perbankan adalah bagai bejana berhubungan, yang saling bereaksi.

Secara teori, sebuah aktiva prokduktif di perbankan pada dasarnya merupakan refeleksi dari baik atau buruknya sektor riilBukan sebaliknyaKalau aktiva produktif sebuah bank banyak NPL-nya, maka ini mencerminkan keburukan dan perilaku sektor riil.

Tapi dunia usaha bisa juga bilang bahwa kredit macet terjadi karena economics environment, political envirorement dan monetary environment yang berubahAlasan yang konkrit dan faktual serta tidak mengada-ada.

Perbankan pun menghindari kekeringan likuiditas, sehingga lebih prudential mengucurkan kreditBanyak corporate asing yang berpusat di AS menarik kembali dolarnya dari luar negeri, temasuk IndonesiaAS memang sedang dilanda kemarau likuiditas dolar.

Asas kehati-hatian itulah barangkali yang terlalu kaku karena bisa saja menjadi bumerangLama kelamaan akan merugikan sektor perbankanTak mungkin bank bisa eksis tanpa menyalurkan kredit.

Sekedar mengandalkan dana pihak ketiga pun berbahaya, karena bunganya lebih cepat turun dan kurang merangsangBisa-bisa orang lari ke pasar modal, atau membeli emas secara tradisional.

Jika demikian, bank mau hidup dari apa? Tidak akan prosfektif jika hanya memanfaatkan BI rate yang marginnya dengan bunga deposito perbankan sangat tipis, yakni hanya 0,64%.

Filosofi
Nah, kembali ke pokok soal, riwayat asal usul dana itu mestinya mendorong bankir menurunkan margin keuntungan maupun penurunan biaya dana.

Namun wilayah ini terasa eksklusif jika dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945Acuan tentang perekonomian bersama berdasar kekeluargaan yang berseberangan dengan dunia perbankan yang liberal dan individualBahkan, jika penurunan suku bunga itu dituangkan dalam kesepakatan bersama antarbank berpotensi melanggar hukum persaingan usaha pula.

Tampaknya, selain masalah real bank, soal-soal margin yang tinggi, suku bunga perbankan merupakan tarik menarik antara perekonomian liberal yang menguntungkan individual dan filosofi perekonomian pasal 33 UUD 1945, yang masih berlaku hingga kiniTuan bankir pilih mana? ***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ibunda Bagai Salak Berduri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler