Minke Baru Antitesis Neoliberal

Selasa, 18 Agustus 2009 – 10:08 WIB
YOESOEF ISAK, 81 tahun, telah pergiNama penerbit Hasta Mitra yang meninggal dunia Sabtu 15 Agustus 2009 di kediamannya, Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan itu, melesat ke dunia internasional karena menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, di antaranya Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, yang diberangus rezim Orde Baru

BACA JUGA: Gerbong, Suksesi & Rekonsiliasi

Anehnya, malah menuai sukses di black market dan terjual bak hot cakes pada 1981 - seperti istilah Yoesoef ketika berpidato di Fordham University pada 1999 silam di New York.

Di sisi lain, Yoesoef kelahiran 15 Juli 1928 di Kampung Ketapang, Jakarta, adalah jurnalis bagai si "Pitung Modern" yang mengusik kenyamanan kolonial tuan Belanda, yang mengajarinya tulis-baca
Ketapang dikenal sebagai markas anak-anak Stovia, embrional gerakan nasionalisme Indonesia

BACA JUGA: Debat Tak Kunjung Usai

Belanda mendidik mereka, kemudian mereka melawan Belanda.

Tokoh seperti Soetomo dan Mohammad Jamin dikenal muncul dari Ketapang
Mereka studi di sekolah elit Belanda

BACA JUGA: Ibunda Bagai Salak Berduri

Yoesoef beruntung karena ia pun anak seorang borjuis, sehingga ikut menikmati sekolah elit Belanda, yang berakar sejak politik etis atau hutang budi di abad ke-19, setelah Belanda merasa berdosa oleh kultur Tanaman Paksa.

Isak, ayah Yoesoef, bekerja di kantor telegram InggrisGajinya lumayan, walau Isak meninggal dunia ketika Yoesoef, anak keempat dari tujuh bersaudara itu masih berusia 6 tahun.

Saat Jepang masuk pada 1942, usia Yoesoef sudah belasan tahunDi depan pelupuk matanya, ia lihat kekejaman Jepang terhadap anak bangsaOrang-orang kurus kering karena kelaparan, bahkan banyak yang mati tergeletak karena kesewenang-wenangan Jepang.

***
Dengan latar belakang itulah Yoesoef bertumbuhSetelah Jepang angkat kaki, Joesoef bekerja di koran Berita Indonesia yang didirikan S Taskin, S Tasrif, Mohammad Sa'af dan Haris, paman JoesoefIa mengkliping koran-koran asing untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Yoesoef lebih menguasai bahasa Belanda dan Inggris dibanding bahasa IndonesiaIa mengenal bahasa "Melayu Pasar", bukan bahasa Indonesia yang disebut sebagai bahasa "Melayu Tinggi"Namun ia dengan cepat menguasai bahasa Indonesia setelah menekuni pidato serta tulisan Bung Karno yang populer ketika itu.

Pikiran Bung Karno menyadarkan Yoesoef akan api nasionalismeIa mulai menyukai politikYoesoef menjadi jurnalis hanya bermodal pendidikan Sekolah Ekonomi Menengah Belanda (MHS)Namun karena menguasai bahasa asing, ia mulai mengunyah-ngunyah karya Shakespeare, Marx, Freud, Bernard Shaw, hingga lagu-lagu klasik dari piringan hitam karya Mozart, Bach, Bethooven dan lain-lain.

Kisah Yoesoef menginspirasi wartawan muda, bahwa untuk menjadi jurnalis mestilah berpengetahuan umum yang luas, dan tak sebatas pengetahuan jurnalistik.

Tatkala belakangan Yoesoef memimpin Harian Merdeka, yang didirikan oleh BM Diah pada 1945, ia tak mengharuskan ijazah jurusan publisistik, tetapi bisa juga dari psikologi, sosiologi, bahkan pertanianYang penting adalah sistematika dan logika berpikir dan penguasaan kepada basis pengetahuan umum.

Jurnalisme Yoesoef yang berpihak kepada nasionalisme Indonesia kian kentalIa juga menulis reportase politik yang didirikan para milisi Belanda, yang karena anti Jepang sangat progresif membela Indonesia.

Suatu ketika di suratkabar Asia Raya, Yoesoef "menyerang" seorang penyanyi populer, Sam Saimun, yang sangat terkenal dengan lagu Dua Mata Bola dan Nyiur MelambaiJoesoef mengkritik cara Saimun melafalkan lagu yang kegenitan dan sok kebarat-baratan.

Ketika BM Diah membeli Berita Indonesia dan digabungkan ke dalam suratkabar Merdeka, serta-merta Joesoef menjadi staf redaksi Merdeka pada 1949Belakangan Yoesoef menjadi Pemred Merdeka, ketika BM Diah semakin menua.

***
Tak diingkari, nyaris semua wartawan Indonesia adalah produk modernisasi Indonesia ala Orde Baru hingga era ReformasiTak perlu malu-malu mengatakan bahwa Orde Baru sangat mengadopsi modernisasi yang dipengaruhi paradigma kapitalisme, dan akhirnya neoliberalismeSejak era generasi Sadli dan Emil Salim, hingga Srimulyani dan Chatib Basri, hal itu berlangsung gencar.

Paradigma itu juga dianut oleh disiplin ilmu politik, sosial dan kebudayaan, baik yang studi di luar negeri dan dalam negeriTak heran jika pola pembangunan kita sangat berwarna Amerika SerikatBahkan di bidang perfilman, para sineas muda banyak belajar dari pengaruh neoliberalisme, yang memungkinkan mengadopsi teknik film modern, juga akting dan penyutradaraan.

Idemdito dengan jurnalisMajalah Tempo dipengaruhi oleh Majalah TimeKompas juga memakai konsultan dari Eropa.

Keberbedaan generasi Yoesoef dan para senior pendahulunya, kendatipun mereka belajar dari pendidikan Belanda, tetapi skill dan ilmu yang mereka peroleh justru dipakai untuk melawan BelandaSenjata makan tuan, alias menjadi boomerang bagi Belanda.

Ironisnya, dalam berbagai diskusi tentang jurnalisme maupun kebudayaan beberapa dasawarsa ini, nama Minke, tokoh roman Bumi Manusia dan Rumah Kaca, dua karya Pram itu, selalu saja dianggap sebagai personifikasi dari Raden Mas Tirto Adhisoerjo, pendiri Serikat Priyayi, yang lahir sebelum Budi UtomoIa terkenal sebagai wartawan pribumi yang radikal melawan Belanda melalui koran Medan Priyayi.

Pejabat Belanda kemudian menugasi Pangemanann untuk memata-matai aktivis nasionalis termasuk wartawan MinkeDalam diskusi Indonesia kontemporer, Minke dielu-elukan seorang revolusionerKerap pula dikutip ucapan Nyai Ontosoroh kepada Minke, "Kita lawan balik, anakku, sebaik dan dengan seterhormat mungkin!"

Tatkala Indonesia baru memerlukan antitesis, mestinya jurnalisme masa ini tidak terninabobokan oleh supremasi neoliberalismeJika generasi Tirto nekad menjadi "Pitung Modern" terhadap kolonial Belanda, mengapa jurnalis sekarang tak berani membentak neoliberalisme? Atau telah memilih menapaktilasi langkah Tuan Pangemanann si agen Belanda, karena enak kepenak menjadi agen neoliberalisme? (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Apa yang Kau Cari, Palupi?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler