jpnn.com, JAKARTA - BUMN harus tunduk pada prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dan tidak boleh dijadikan alat politik yang menyebabkan BUMN menyimpang dari maksud dan tujuan pendiriannya.
Demikian salah satu pernyataan yang diutarakan Deputi Bidang Infrastruktur Kementerian Badan Usaha Milik Negara RI Hambra dalam acara Seminar “Perubahaan UU No. 19 Tahun 2013 tentang RUU BUMN” inisiasi Perkumpulan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 1991, di Jakarta, Rabu (24/10).
BACA JUGA: Teken Kerja Sama, 14 BUMN Raih Kesepakatan Rp 201 Triliun
Turut sebagai pembicara dari Ketua Komisi VI DPR RI Teguh Juwarno dan Ashoya Ratam, Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 1991 dan Notaris dan dimoderatori Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Junaedi.
Hambra juga menyoroti beberapa hal penting di antaranya prinsip purifikasi BUMN yang terdapat dalam UU 19 Tahun 2003.
BACA JUGA: Rini Soemarno Dorong Kaum Muda Beri Saran Kreatif ke BUMN
"Dalam Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2013 terutama terkait pengaturan tentang modal BUMN yang menegaskan bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan,” katanya.
Lebih jauh, Hambra menjelaskan, purifikasi atau pemurnian BUMN tersebut sangat jelas dalam penjelasan Pasal 4 tersebut yang menyebutkan bahwa “penyertaan modal dari APBN pada BUMN dilaksanakan dengan pembinaan dan pengelolaannya tetap berdasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.”
BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Diajak Jaga Aset BUMN
Hambra menyoroti bahwa dengan pengaturan itu maka prinsip good corporate governance (GCG) tetap menjadi bagian penting juga dalam pengelolaan BUMN.
BUMN harus tunduk pada prinsip-prinsip GCG, tidak boleh dijadikan alat politik yang menyebabkan BUMN menyimpang dari maksud dan tujuan pendiriannya. Pengelolaan BUMN harus tunduk pada Business Judgement Rules dengan tetap berpatokan bahwa tidak ada peralihan kekayaan BUMN yang terlepas dari kekayaan negara.
Hambra juga mengusulkan perihal NHC sebagai superholding BUMN, yaitu badan hukum khusus yang didirikan dengan Undang-undang ini untuk mengelola portofolio pemerintah pusat dalam bentuk penyertaan saham pada Persero dan atau Perseroan lainnya dengan tujuan, salah satunya menjadi pengelola portofolio investasi pemerintah pusat dalam bentuk PMN pada Persero dan Persero Lain.
Sementara itu, Ketua Komisi VI DPR RI Teguh Juwarno menjelaskan tentang RUU Inisiatif DPR terkait BUMN sebagai mitra strategis dan motor pergerakan ekonomi Indonesia.
Peningkatan peran BUMN dalam berbagai peran dalam kerangka pelaksanaan urusan pemerintahan, dalam pelaksanaan tak hanya BUMN akan tetapi juga anak dan cucu BUMN ikutserta dalam pelaksanaan proyek pemerintah yang ini berpotensi menurunkan efisiensi dan keuntungan yang menjadi pemasukan negara.
Oleh karena itu, DPR melihat perlunya anak perusahan BUMN masuk dalam rezim keuangan negara.
“Bahwa RUU BUMN ini adalah respons atas putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah diputuskan terkait BUMN. Dalam pelaksanaannya juga berbagai hal yang menjadi catatan dalam pelaksanaan praktik BUMN telah tercermin dalam RUU BUMN dalam bentuk beberapa perubahan pasal dalam RUU BUMN di antaranya adalah perubahan definisi BUMN yang secara langsung berakibat pada permodalan atau persentase penyertaan modal pemerintah di BUMN,” jelas Teguh.
Teguh menambahkan bahwa dalam RUU ingin ditegaskan atau diatur perihal core business dari BUMN serta peran yang lebih dari BUMN untuk mendukung usaha kecil dan menegah, pengaturan yang lebih lengkap terkait upaya penggabungan/merger/akuisisi/pelepasan BUMN dan penjelasan atas BUMN yang mendapatkan penugasan khusus.
Seminar dilanjutkan dengan pemaparan Ashoya Ratam, Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 1991 dan juga berprofesi sebagai Notaris, menyoroti tentang pengertian BUMN, pengaturan tentang anak perusahaan, penyertaan modal dalam BUMN.
Ashoya juga menyoroti tentang persyaratan fit and proper test Direktur Utama dan Komisaris Utama, RUPS serta perihal rencana kerja dan anggaran perusahaan.
Ashoya menjelaskan bahwa dalam pengertian BUMN terdapat penghilangan kalimat “untuk mendapatkan keuntungan” dalam tujuan usaha BUMN. Perluasan pengertian BUMN tersebut juga meliputi penyertaan modal dari negara yang tidak dibatasi persentasenya.
“Konsekuensi dari tidak dibatasinya presentase kepemilikan adalah tidak mustahil dengan RUU BUMN, pihak swasta yang menguasai mayoritas saham atau modal dalam BUMN akan memanfaatkan perlakuan khusus yang diberikan oleh pemerintah bagi BUMN,” jelas Ashoya.
Ashoya kemudian menjelaskan implikasi lain, yaitu bahwa RUU BUMN tidak mensyaratkan penyertaan dari negara tersebut berasal dari APBN, jadi RUU BUMN sudah mengakui adanya BUMN walaupun penyertaan negara tersebut berasal dari non-anggaran.
“Hal ini tentu akan menambah banyaknya Badan Usaha yang digolongkan sebagai BUMN yang berdampak pada bertambah banyaknya BUMN yang perlu diawasi sesuai UU BUMN,” tambah Ashoya.
Selain itu, Ashoya Ratam yang merupakan alumni FHUI angkatan 91 yang kini sedang maju sebagai kandidat ketua ILUNI FHUI juga menyoroti perihal pentingnya RUU BUMN ini melakukan sinkronisasi dengan UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengingat banyaknya BUMN dalam bentuk persero.
Dalam hal ini di antaranya adalah tentang kedudukan RUPS yang dalam RUU tersebut justru kembali ke UU Nomor 1 Tahun 1995.
Ashoya juga menyoroti tentang pemilihan direktur utama dan Komisaris utama BUMN yang melalui fit and Proper Test yang akan dilakukan oleh DPR berpotensi menimbulkan hambatan ketika tidak ditegaskan bagaimana mekanismenya.
“Perlu pengaturan yang lebih tegas dalam hal rencana kerja dan anggaran tahunan perusahaan (RKAP) yang harusnya diatur sebelum berakhirnya tahun buku bukan pembahasan RKAP dilakukan pada tahun berjalan yang bersamaan dengan RUPS tahunan,” tutup Ashoya. (mg8/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BUMN Geo Dipa Dukungan Ajang IMF-World Bank Annual Meeting
Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha