Ironi di Bintuni, Mumi Listrik di Digul

Minggu, 21 Agustus 2011 – 06:12 WIB

INILAH safari Ramadan terpanjang yang saya lakukan minggu lalu: Jakarta, Sorong, Sorong selatan, Bintuni, Nabire, Timika, Wamena, Yahukimo, Digul, ½Merauke, Sota, Jayapura, Makassar, Surabaya, JakartaLebih panjang dari perjalanan saya ke Papua tahun lalu: Sorong, Fakfak, Kaimana, Manokwari, Jayapura

BACA JUGA: Atasi Kebutuhan Mendesak, Bangun Minihidro

Meski begitu, ternyata baru 14 kabupaten di Papua yang saya kunjungi
Masih 13 kabupaten lagi yang belum: Waropen, Yupe Waropen, Asmat, Yappi, Pegunungan Bintang, Biak, Serui, dan seterusnya.

Begitu luas wilayah Papua

BACA JUGA: Ketemu Lokasi PLTA Berkelas Emas, Kelelahan Lunas

Begitu minim fasilitas listriknya
Ada ironi pula di dalamnya

BACA JUGA: Murah yang Membuat Marah

Bintuni contohnya.

Ketika saya bermalam di Bintuni, listrik lagi padam di kabupaten yang kaya dengan gas, minyak, dan batubara iniBahkan, sudah 10 hariIni karena pemda tidak mampu lagi membeli minyak untuk menjalankan genset-gensetnyaPLN memang belum hadir di siniListriknya masih ditangani pemdaPLN belum punya apa-apaJaringan listriknya pun milik LisdesHanya ada satu orang PLN di seluruh kabupaten ituTugasnya membeli listrik milik pemda, menyalurkannya lewat jaringan milik Lisdes, dan menagih rekening bulanannya.

Pemda sudah kewalahanUntuk melistriki Kota Bintuni, pemda harus membeli BBM Rp 80 miliar/tahunTidak banyak lagi dana yang bisa dipakai untuk membangun daerah.

Padahal, kabupaten ini berkembang pesat sejak ditemukan gas alam yang gila-gilaan besarnyaSudah ada bandara kecil di BintuniTiap hari ada pesawat Susi Air jurusan Sorong dan ManokwariPosisi Bintuni juga berada di pertengahan antara Sorong, Fak-fak, Kaimana, Manokwari, Wasior, dan NabireSemua kota tadi memiliki bandara sendiri-sendiriJalan darat ke Manokwari pun sudah tembus dengan jarak tempuh tujuh jamDari Manokwari bisa terus ke Sorong meski masih menambah waktu tempuh satu hari lagi.

Yang lebih terasa ironi adalah ini: 50 km dari Kota Bintuni, masih berada di wilayah Kabupaten Bintuni, ada sebuah kota baru yang hanya boleh dihuni oleh staf dan karyawan yang luar biasa terang-benderangnyaAda pembangkit listrik yang sangat besar di kompleks iniInilah kompleks industri LNG Tangguh, milik perusahaan asing BP Tangguh.

Perusahaan itulah yang menemukan gas alam dalam jumlah besar, 1.000 bbtud, di Teluk BintuniAgar mudah diangkut ke luar negeri, gas tersebut semuanya diproses menjadi benda cair (LNG)Tidak sedikit pun disisakan untuk keperluan masyarakat setempatSemuanya dikirim ke Tiongkok dan California, USA

Jalan pikiran seperti itu memang terjadi hampir di semua proyek besar serupaTermasuk ketika PLN membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala besarTidak ada konsep menyisihkan sebagian kecil produksinya untuk keperluan setempatAkibatnya, banyak desa yang lokasinya di sebelah PLTA besar justru gelap gulitaIni yang sedang kami koreksi

PLTA-PLTA baru sudah diputuskan untuk memasukkan sistem kelistrikan bagi desa terdekatPLTA Peusangan di Aceh, PLTA Asahan-3 di Sumut, PLTA Baliem-2 di Wamena, dan beberapa proyek lagi, perencanaannya sudah mengakomodasikan koreksi tersebut

Koreksi serupa mestinya bisa dilakukan di BintuniSetelah salat Tarawih, saya bertemu bupati, wakil bupati, dan ketua DPRD BintuniKami dijamu makan malam dengan menu utama keladi dan pisang kukus disertai lauk kepiting dan udang Teluk BintuniDi meja makan itulah kami bicarakan jalan keluar untuk listrik BintuniTiga alternatif kami sampaikan untuk bisa segera dilaksanakan oleh PLN.

Pertama, PLN akan minta barang dua sendok gas dari proyek LNG TangguhKalaupun tidak ada lagi sisa, setidaknya PLN bisa minta gas yang setiap hari dibakar di menara bakar itu (flare gas)Kalau permintaan dua sendok itu dikabulkan, PLN akan membangun pembangkit kecil berbahan bakar gas di dekat proyek LNG TangguhDari sini listrik dialirkan dengan kabel bawah laut 20 kV menyeberang ke Kota BintuniAtau gas tersebut kami kirim ke Bintuni dengan sistem compressed natural gas (SNG)Kalau permintaan itu dikabulkan, dalam hitungan delapan bulan Bintuni sudah akan terang benderang.

Kedua, kalau permintaan gas tersebut tidak dipenuhi, PLN bisa membangun PLTU mini di BintuniKebetulan di samping kaya gas, kabupaten ini juga kaya batubaraNamun, membangun PLTU kecil di Bintuni jatuhnya sangat mahalMembangunnya juga lama: paling cepat dua tahun.

Ketiga, membangun pembangkit listrik tenaga gas batubara (PLTGB) di daerah perbatasan antara Kabupaten Bintuni dan ManokwariDi kawasan ini terdapat cadangan batubara dengan kalori sangat tinggiBatubara kalori tinggi sangat bagus untuk diubah menjadi gasGas yang berasal dari batubara ini yang dijadikan bahan bakar listrikKarena lokasinya di perbatasan, listriknya bisa dialirkan untuk dua kabupaten sekaligus: Bintuni dan ManokwariTapi, pilihan ini memerlukan waktu sampai tiga tahun dan dengan nilai proyek yang terlalu besar.

Tepat ketika makan malam selesai, selesai pula perumusan kesepakatan ituPrioritasnya, PLN dan pemda akan bersama-sama berjuang meminta dua sendok gas Tangguh ke PB MigasKami harus minta lewat BP Migas karena inilah badan pemerintah yang mengatur penggunaan gas alamWaktu makan sahur bersama rombongan PLN, strategi untuk mewujudkan rencana itu kami konkretkan

Ketika bangun pagi, saya berpikir alangkah lamanya kalau harus berjuang dengan prosedur biasaMaka, setelah jalan pagi, saya kirimkan SMS dengan bumbu provokasi sedikit untuk pejabat tinggi di PB MigasSaya tahu masih pukul 04.00 di JakartaPerlu beberapa jam untuk menunggu jawaban.

Sikap pejabat tinggi BP Migas itu ternyata sangat baikKetika saya mendarat di Nabire, ada SMS masukIsinya sangat menggembirakanBP Migas mendukung gagasan PLN untuk mendapatkan barang dua sendok gas dari BP TangguhSambil mengemudikan mobil menuju lokasi proyek pembangunan PLTU di Nabire, saya tidak henti-hentinya bersyukur"Ini demi NKRI, Pak," tulis SMS dari pejabat tinggi BP Migas ituSaya bayangkan betapa senangnya masyarakat Bintuni kelak.

Di Kabupaten Digul kurang lebih sama: PLN belum terlalu hadir di daerah yang amat terkenal karena Bung Hatta dan Bung Sutan Syahrir pernah dibuang dan dipenjarakan di pedalaman Papua iniPembangkit kecil yang ada adalah milik pemdaPLN memang masih punya satu genset, tapi sudah lama menjadi mumiUkurannya Cuma 15 kWItu pun bikinan Belanda pada 1930Meski begitu, saya minta genset itu dirawat dengan baikSiapa tahu inilah genset tertua yang masih bisa ditemukan di IndonesiaBisa dipindahkan ke museum listrik di TMII Jakarta, atau biar tetap saja di DigulSekalian untuk memperkaya peninggalan sejarah kejamnya Belanda, seperti yang terlihat dari penjara yang masih ada di sana.

Mengingat pengguna listrik di Boven Digul umumnya rumah tangga (yang pemakaian listriknya kecil), kami merencanakan sebuah jalan yang berbedaMungkin lebih baik membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang modern di DigulSekalian bisa untuk memperkaya wisata di sanaSiapa tahu bisa didapat lahan yang tidak jauh dari lokasi penjara, sel, patung Bung Hatta, dan Taman Makam Pahlawan khusus bagi pejuang yang dibuang ke Digul dan meninggal di situ itu.

Hampir saja kami gagal mendarat di DigulMenjelang pendaratan, pilot memberi tahu landasan sedang diperbaikiPesawat akan terus menuju MeraukeTentu saya tidak ingin gagal ke DigulPilot mengerti ituMaka sang pilot terbang sangat rendah untuk bisa melihat dengan mata kepala sendiri seberapa mungkin landasan itu bisa didaratiPesawat pun mondar-mandir terbang rendah di dekat landasanSetelah lima kali memutari landasan, pilot merasa safe untuk mendarat di DigulKami pun bertepuk tangan(c2/lk)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Senggolan Nazaruddin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler