jpnn.com, JAKARTA - Pihak Istana Kepresidenan meredam kekhawatiran publik atas langkah DPR menginisiasi revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Utamanya dari kalangan penggiat antikorupsi ,maupun internal lembaga antirasuah tersebut.
"Menurut saya, ini kan kalau kita mengerti tata cara proses pembahasan undang-undang di DPR, harusnya kekhawatiran itu tidak diperlukan," kata Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) Ifdhal Kasim, di kantornya, Jumat (6/9).
BACA JUGA: PDIP Anggap Revisi UU KPK Semangat Perbaikan
BACA JUGA: Presiden Jokowi Didesak Batalkan Revisi UU KPK
Dia menyebutkan bahwa revisi UU KPK itu merupakan isu lama. Meskipun diinisasi kembali oleh dewan, proses perubahannya tetap memerlukan persetujuan dari pemerintah.
BACA JUGA: Resmikan Pabrik Esemka, Jokowi Semringah
"Nah ini jelas waktunya sudah sangat terbatas. Itu mungkin sebagai sebuah langkah. Karena ini merupakan inisiatif DPR, mereka tentu di akhir sidang ini coba mengangkat lagi bagaimana memutuskan ini. Bukan berarti harus diketok," jelasnya.
Pendapat pemerintah diperlukan dalam menyikapi keputusan paripurna DPR menjadikan revisi UU KPK sebagai hak inisiatif legislatif. Namun, kata Ifdhal, sejauh ini belum ada pembahasan tentang daftar inventarisasi masalah atau DIM-nya seperti apa. "Jadi itu masih jauh itu," tukas mantan ketua Komnas HAM tersebut.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Didesak Batalkan Revisi UU KPK
Merespons permintaan penggiat antikorupsi supaya Presiden Joko Widodo alias Jokowi jangan sampai menerbitkan surat presiden (Surpres) untuk menyikapi revisi UU KPK, Ifdhal menjawab diplomatis.
"Itu yang saya bilang tadi, harus ada persetujuan (pemerintah). Presiden belum menemukan naskahnya, bagaimana? Itu belum bisa direspons karena pemerintah belum mendapat bahannya," tandas Ifdhal. (fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tolak Capim Bermasalah, Pegawai KPK akan Bikin Rantai Manusia Siang Ini
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam