jpnn.com - Di antara ribuan warga Kediri yang menjadi korban langsung erupsi Gunung Kelud, keselamatan jiwa warga Desa Sugih Waras di Kecamatan Ngancar termasuk yang paling terancam. Sebab, desa itu terletak paling dekat dari titik letusan. Mereka tidak menduga Kelud bakal meletus secepat itu.
ANGGIT SATRIYO NUGROHO, Kediri
BACA JUGA: Jalan Tertutup Debu 30 Sentimeter, Jarak Pandang 2 Meter
WARGA Sugih Waras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, sama sekali tidak menduga Gunung Kelud akan meletus Kamis malam (13/2). Simulasi untuk menghadapi musibah memang sudah sering dilakukan. Namun, tidak ada yang menyangka "hari itu” datang begitu cepat. Karena itu, warga masih tenang-tenang saja ketika Kelud batuk-batuk, lalu memuntahkan lahar yang disertai material vulkanis.
”Bahkan, kami masih sempat menggelar istighotsah di Masjid Baitul Karim. Itu masjid baru milik desa kami,” kata Adi Supriyanto, warga Sugih Waras, Jumat (14/2).
BACA JUGA: Mengunjungi Intramuros, Kota di Dalam Benteng di Manila, Filipina
Istighotsah diadakan untuk memohon petunjuk dan perlindungan kepada Tuhan merespons kondisi Kelud yang mulai “menggeliat”. Warga ingin mendapat petunjuk kepastian kapan Gunung Kelud benar-benar meletus.
Baru saja acara doa bersama itu diakhiri, pengeras suara dan kabel-kabel dirapikan, serta karpet di masjid dilipat, tiba-tiba suara dentuman keras terdengar. Kemudian, hujan kerikil “mengguyur” desa yang berada sekitar 7 km dari puncak Gunung Kelud itu.
BACA JUGA: Terminal 2 Juanda, Baru Ceremony Pembukaan Langsung Ditutup
”Saya hanya membatin, Allah mengabulkan doa kami. Kelud akhirnya meletus,” katanya.
Suasana desa seketika berubah menjadi gelap gulita. Listrik padam. Warga panik. Dengan membawa barang seadanya, mereka beramai-ramai turun dari lereng gunung menuju tempat pengungsian terdekat. Yakni, di Balai Desa Tawang, Kecamatan Ngancar. Desa itu berjarak 15 km dari puncak Kelud. Jadi, mau tidak mau, warga “lari” sejauh 8 km dari rumah mereka untuk menyelamatkan diri dari kejaran awan panas.
Padahal, di sepanjang jalan, warga harus menghadapi hujan batu dan abu vulkanis yang turun lebat hingga jarak pandang hanya beberapa meter. Belum lagi kondisi jalan yang gelap gulita. Penerangan hanya berasal dari lampu motor atau mobil bak terbuka yang mengangkut mereka.
Balai Desa Tawang ternyata sudah dipenuhi warga dari desa lain yang juga ramai-ramai mengungsi di tempat yang aman. Terutama para perempuan, warga yang sudah sepuh-sepuh, dan anak-anak. Para bapak dan pemuda bergotong royong mengamankan desa dan baru menyusul kemudian. Termasuk Adi Supriyanto.
Sampai kemarin, sudah ada 780 warga yang mengungsi di balai desa yang tidak begitu besar itu. Selain di Desa Tawang, Pemkab Kediri menyiapkan 47 lokasi pengungsian yang tersebar di pelosok kawasan Kediri. Di 48 tempat pengungsian tersebut, telah tertampung sekitar 66 ribu warga korban letusan Gunung Kelud.
Termasuk Kusni, 83, yang sudah makan garam menghadapi bencana alam Gunung Kelud. Dia mengaku sudah enam kali merasakan ganasnya gunung yang berada di antara Kabupaten Kediri, Malang, dan Blitar itu. Pria sepuh tersebut pernah mengalami erupsi Kelud pada 1951, 1966, 1990, 2007, dan terakhir kali ini.
”Tapi, nggih niki sing paling banter (Tapi, ya ini letusan yang paling besar, Red),” ucapnya sambil bersandar di tembok balai desa.
Adi maupun Kusni dan ratusan warga yang lain harus menerima kondisi yang darurat. Misalnya, mereka harus rela tidur di lantai beralas tikar atau kardus. Untuk aktivitas MCK (mandi, cuci, dan kakus), mereka juga harus sabar, antre panjang. Bayangkan, untuk melayani ratusan pengungsi, balai desa itu hanya memiliki dua tempat MCK. Maklum, tempat pengungsian tersebut belum disiapkan dengan matang.
”Kalau sudah tidak kuat nahan, ya terpaksa lari ke rumah warga di sekitar balai desa,” kata Gunawan, warga Sugih Waras yang lain.
Gunawan mengungkapkan tak menyangka Gunung Kelud meletus secepat itu. Maklum, tak ada tanda-tanda khusus yang menunjukkan Kelud mau meletus. Saat simulasi evakuasi bencana sebelumnya, yang diajarkan lebih banyak bagaimana menyelamatkan binatang ternak warga.
”Sama sekali kami belum diajari bagaimana cara cepat menghindari bahaya gunung meletus. Yang diajarkan malah menyelamatkan ternak dulu. Saya sudah protes, tapi tetap tidak diajarkan sampai Kelud benar-benar meletus,” kata pria 33 tahun itu.
Akibatnya, saat erupsi terjadi, Gunawan cukup pontang-panting.”Saat musibah terjadi, dia tak mengetahui secara pasti ke mana orang tua dan mertuanya menyelamatkan diri. Karena itu, ketika Kelud meletus, yang ada di pikirannya hanya kekalutan.
”Saya maunya menyelamatkan diri. Tapi, saya juga kepikiran ibu dan bapak saya,” ungkapnya.
Baru esok paginya, Gunawan mengetahui bahwa kedua orang tua dan mertuanya sudah mengungsi di Balai Desa Tawang. Sebelum menemukan keduanya, bapak dua anak itu sempat mencari di beberapa tempat pengungsian yang lain seperti Balai Desa Wates dan SMK Merak yang juga di Kecamatan Ngancar.
”Barulah esok paginya saya ketemu mereka. Lega rasanya,” kata dia.
Setelah lega bertemu orang tua dan mertua, Gunawan ganti kepikiran dengan sejumlah kambing peliharaannya yang ditinggalkan. “Saat saya mengungsi, kambing-kambing itu saya lepas. Biar mereka bisa mencari makan sendiri,” ucapnya.
Warga lain yang juga kepikiran nasib ternaknya adalah Edwi Joko Santoso. Saat meninggalkan rumah, Edwi membiarkan tiga sapinya tetap di kandang. Bukan hanya itu. Edwi harus merelakan mimpinya bisa memanen kebun nanasnya tiga bulan lagi.
”Tapi sudahlah, yang penting saya dan anak-anak selamat,” ungkapnya.
Menurut Edwi, yang mengalami kerugian cukup besar adalah pemilik kebun cabai. Kerugian yang ditanggung bisa mencapai puluhan juta rupiah. Sebab, ladangnya pasti rusak setelah tertimbun batu dan abu vulkanis yang dimuntahkan Kelud. Maklum, harga cabai saat ini sedang bagus-bagusnya.
Meski erupsi Kelud belum tuntas, ada saja warga yang nekat meninggalkan tempat pengungsian untuk pulang ke rumah. Salah seorang di antaranya Budiono. Dua jam setelah erupsi terjadi, dia kembali ke rumahnya di Sugih Waras.” Selain melihat kondisi rumah, dia membersihkan atap rumahnya dari pasir yang menumpuk.
”Saya khawatir genting rumah saya tidak kuat menahan banyaknya pasir dan batu-batu, bisa ambruk,” katanya.
Tindakan nekat Budiono itu diikuti Sukirin, tetangganya. Menurut Sukirin, dirinya lebih tenang tidur di rumah sendiri daripada tinggal di pengungsian. Meski sudah dirayu banyak orang, dia tetap bersikukuh pulang.
”Nggak papa, saya tanggung sendiri akibatnya. Pokoknya saya bisa pulang,” ujarnya. (*/c5/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi The MacDonald House, Lokasi Pengeboman oleh Usman dan Harun
Redaktur : Tim Redaksi