jpnn.com - Filipina memang bukan destinasi wisata pilihan. Tapi, jika ke Manila, ibu kota Filipina, sempatkan datang ke Intramuros, kota yang hidup di dalam benteng. Wartawan Jawa Pos MIFTAKHUL FAHAMSYAH pekan lalu mengunjungi kota itu.
= = = = = = = = = = = =
BACA JUGA: Terminal 2 Juanda, Baru Ceremony Pembukaan Langsung Ditutup
REKOMENDASI Rommel C. Mangalindan ternyata tidak keliru. Ketika berjumpa di Luneta Park, Manila, Sabtu lalu (8/2), engineer sebuah perusahaan konstruksi di Filipina tersebut menyarankan untuk pergi ke Intramuros
Letaknya hanya selemparan batu dari Luneta Park yang berada di jantung Kota Manila. "Mengapa ke Intramuros? Sejarah Filipina ada di sana. Bangunan di Intramuros juga masih difungsikan sampai saat ini," promosinya.
BACA JUGA: Mengunjungi The MacDonald House, Lokasi Pengeboman oleh Usman dan Harun
Sejarah Filipina ada di Intramuros? Tidak berlebihan. Siapa saja yang memasukinya pasti akan dilemparkan ke masa lalu Filipina. Ke masa ketika Spanyol menguasai negara kepulauan di utara Indonesia tersebut pada 1565 sampai 1898.
Intramuros adalah kota di dalam benteng. Tempat tersebut dikelilingi tembok batu sepanjang 4,5 kilometer. Luasnya tak kurang dari 64 hektare.
BACA JUGA: Susilo Toer, Adik Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang Tetap Produktif di Usia 77 Tahun
Di dalam benteng tersebut berdiri berbagai bangunan dengan arsitektur Spanyol yang terasa mewah hingga kini. Juga ada beberapa taman yang begitu indah. Bangunan-bangunan di Intramuros antara lain gedung pemerintahan, tempat tinggal, sekolah, dan gereja.
Bangunannya minimal dua lantai dengan dinding dari batu. Jendela-jendelanya begitu besar, dilengkapi kayu-kayu jati berkualitas tinggi. Rata-rata di depan setiap jendela terdapat balkon. Di beberapa bangunan, langit-langitnya tak dibiarkan kosong. Tapi diberi aneka ornamen berupa ukiran-ukiran khas Eropa.
Klasik namun menawan. Ruas jalannya juga dibuat dari bebatuan yang ditata rapi. Pokoknya, kondisi kota itu diupayakan masih seperti aslinya. "Intramuros dibangun Spanyol untuk mengantisipasi serangan dari negara lain," terang Jonathan Lasutan, 38, pemandu wisata.
Seperti halnya negara-negara kawasan Asia Tenggara lainnya, Filipina juga menjadi tujuan menarik untuk diinvasi. Sebab, Filipina memiliki tanah yang sangat subur dan menghasilkan berbagai hasil pertanian.
Spanyol yang lebih dulu menguasainya pun tidak ingin kehilangan Filipina. Mereka menyadari bahwa negara-negara lain seperti Jerman, Portugal, Tiongkok, dan Jepang juga kepincut dengan Filipina. Karena itu, pemerintahan kolonial Spanyol lalu membangun benteng di mulut Sungai Pasig yang menjadi pintu masuk ke Filipina melalui jalur laut.
Benteng dan bangunan-bangunan di dalamnya tak sekadar berdiri. Kualitas dan keindahannya tetap menjadi perhatian. Sebab, jika pertempuran benar-benar terjadi, Intramuros bisa menjadi benteng terakhir Filipina. Salah satu bangunan yang masih "utuh" seperti aslinya adalah Gereja San Agustin. "Gereja San Agustin adalah gereja tertua di Manila dan tetap difungsikan sampai saat ini," kata Jonathan.
Gereja San Agustin dibangun pada 1571. Itu berarti gereja tersebut saat ini telah berusia 443 tahun. Meski sudah tua, bangunannya masih sangat kukuh. Temboknya pun tak terlihat kusam sekalipun tidak tersentuh cat.
Kondisi di dalamnya tak jauh berbeda. Bahkan terkesan luks. Langit-langitnya dipenuhi berbagai ukiran klasik. Lampu-lampu hias khas Eropa juga menggantung di langit-langit gereja. Ketika Jawa Pos mengunjunginya Minggu lalu (9/2), di gereja itu sedang berlangsung misa pemberkatan pernikahan.
Semua gambaran tersebut seakan menegaskan bahwa pemerintah Filipina betul-betul menjaga cagar budayanya dengan serius. Padahal, ceritanya tak seperti itu. Di balik kekukuhan Gereja San Agustin, tempat ibadat bagi umat kristiani tersebut pernah dihantam masalah. Gereja itu pernah menjadi sasaran pasukan Tiongkok tiga tahun setelah dibangun. Setahun kemudian gereja di seberang Casa Manila tersebut diperbaiki.
Setelah direnovasi, beberapa tahun kemudian gereja itu terbakar dua kali. Perbaikan kembali dilakukan oleh Juan Macias pada 1587. Dan pada 1762 Gereja San Agustin kembali menjadi sasaran serangan invasi Inggris. Hebatnya, meski beberapa kali terbakar dan menjadi sasaran tembak pasukan musuh, hingga kini gereja itu masih terjaga dengan baik. Bahkan masih difungsikan sebagai tempat peribadatan.
Bukan hanya Gereja San Agustin yang masih berfungsi di Intramuros. Sebagian besar bangunan di kota kecil tersebut juga masih "hidup". Memang tak lagi digunakan seperti era masa lalu karena pemerintah Spanyol sudah lama pergi dari Filipina.
Di antara bangunan-bangunan itu, ada yang dimanfaatkan sebagai museum seperti Casa Manila dan Museum Tiongkok. Begitu pula Fort Santiago yang berada persis di mulut Sungai Pasig, yang dulu menjadi benteng pertahanan pertama dan tempat tinggal, juga dioptimalkan sebagai objek wisata.
Beberapa bangunan lain difungsikan sebagai tempat pemerintahan Filipina, restoran, toko suvenir, kafe, dan hotel. Bangunan yang dulu menjadi tempat penjara Jepang, misalnya, kini difungsikan sebagai kedai kopi Starbucks. Ada juga yang digunakan sebagai gedung sekolah. Di Intramuros juga berdiri megah Cathedral of Manila yang masih difungsikan sebagai tempat ibadat bagi umat Katolik.
Intramuros siap menerima wisatawan domestik maupun mancanegara. Mengelilinginya tak bisa dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Becak dan kereta kuda siap mengantarkan pengunjung. Pengelola Intramuros menyiapkan puluhan angkutan khas negeri tetangga tersebut.
Keindahan arsitektur Spanyol di Intramuros semakin nyaman dinikmati pengunjung karena kawasan wisata sejarah itu bebas asap rokok. Orang-orang Filipina mematuhi aturan tersebut. Hanya, gangguan lain tetap ada. Sebab, bau pesing kerap tercium di sudut-sudut Intramuros. "Mohon maaf kalau kenyamanan Anda terganggu bau yang kurang sedap," ujar Jonathan meminta pengertian tamunya. (*/c9/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyaksikan The 65th Sapporo Snow Festival di Pulau Hokkaido, Jepang
Redaktur : Tim Redaksi