Isu Kudeta AHY Hanya Playing Victim?

Selasa, 09 Februari 2021 – 18:24 WIB
Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY. Foto: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Politik Ninoy Karundeng merasa ada yang tidak beres dengan isu rencana mengudeta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari kursi ketua umum DPP Partai Demokrat.

Pasalnya, tak sekadar menyebut nama Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, tetapi juga dikait-kaitkan dengan Presiden Joko Widodo.

BACA JUGA: Istri Sahabat Sendirian di Rumah, Cecep Tiba-tiba Masuk Meminta Minum, Brak! Terjadilah

 Padahal, Moeldoko bukan internal partai berlambang mercy.

Oleh karena itu, Ninoy menduga isu tersebut sengaja ditiup sebagai playing victim untuk menutupi kegagalan AHY memimpin PD.

BACA JUGA: Hmmm, Tiga Pihak ini yang Paling Diuntungkan dari Isu Kudeta Demokrat

"Sepertinya hanya playing victim, sok dizalimi. Pola ini kayaknya tidak asing. Isunya, kudeta Partai Demokrat yang melibatkan Moeldoko. Nah, dengan menyeret Moeldoko, maka dua target bisa dicapai, termasuk menyerang Jokowi," ujar Ninoy dalam keterangannya, Selasa (9/2).

Ia juga memprediksi isu itu sengaja dikembangkan sebagai upaya mengadu domba presiden dengan Moeldoko.  

BACA JUGA: Ssst, Isu Kudeta Belum Mereda, Politikus Senior Bilang Moeldoko Banjir Dukungan

"Moeldoko adalah orang penting Jokowi. Maka, taktiknya kemungkinan bagaimana caranya mengadu domba Jokowi dan Moeldoko," ucapnya.

Ninoy mendasari opininya dari pernyataan AHY beberapa waktu lalu, yang menyebut telah menyurati Presiden Jokowi untuk meminta klarifikasi.

Sebelumnya, mantan Ketua Komisi Pengawas Partai Demokrat Ahmad Yahya membantah adanya keterlibatan pihak eksternal dalam gerakan kudeta yang disampaikan kubu AHY.

Ia juga mengatakan, usulan kongres luar biasa (KLB) yang disebut-sebut AHY sebagai tindakan inkonstitusional, merupakan hal yang sah dan diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat.

Menurutnya, dalam usulan KLB, dewan pimpinan cabang (DPC) dan dewan pimpinan daerah (DPD) menjadi pemegang hak suara sepenuhnya, sementara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) hanya memiliki satu suara.

"Saya kira apabila itu dilarang menjadi satu hal yang tabu, maka yang bersangkutan tidak memahami aturan dan asas dalam berorganisasi," pungkas Ahmad Yahya.(gir/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler