jpnn.com, JAKARTA - Langkah Institut Teknologi Bandung (ITB) mengandeng layanan pinjaman online (Pinjol) untuk mencicil biaya kuliah tunggal (UKT) mahasiswa menuai sorotan banyak kalangan.
Langkah ini dinilai sebagai jalan pintas yang menjerat mahasiswa dalam lingkaran utang.
BACA JUGA: Kemendikbudristek Gelontorkan Tambahan Anggaran Rp 1,9 Triliun bagi 21 PTNBH
“Kami menilai skema cicilan UKT dengan Pinjol ini merupakan short cut yang merugikan mahasiswa. Bagi mahasiswa yang benar tidak mampu mereka terpaksa mengambil opsi ini, bagi mahaswa nakal opsi ini bisa disalahgunakan untuk kepentingan lain. Ujungnya mahasiswa dan wali mahasiswa yang dirugikan,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Selasa (30/1/2024).
Huda mengatakan sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) ITB memang mempunyai hak untuk melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
BACA JUGA: Prof Komarudin Targetkan UNJ Menjadi PTNBH, Berkelas Dunia & Kampus Humanis
Kendati demikian kerja sama tersebut seharusnya tidak bolah membuka potensi kerugian atau beban terutama bagi kalangan mahasiswa.
“Bekerja sama dengan Pinjol meski tidak ada jaminan maupun DP, tetapi pasti ada bunga. Kami mendengar jika dana pinjaman senilai Rp 12,5 juta dengan tenor selama 12 bulan, harus dicicil mahasiswa Rp 1.291.667 per bulan atau total Rp 15.5000.000 setahun,” ujarnya.
Sebagai PTNBH, lanjut Huda ITB juga berhak menentukan besaran UKT bagi mahasiswa secara mandiri.
Kendati demikian dalam Pasal 65 Ayat 4 UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan jika penyelenggaraan fungsi pendidikan di PTNBH harus tetap terjangkau masyarakat.
“Saat ini sebagian PTNBH masih mengandalkan biaya pendidikan dari mahasiswa sebagai sumber utama pendanaan. Padahal mereka telah diberikan otoritas yang relatif luas mengali sumber pendanaan di luar APBN,” katanya.
Huda mengungkapkan saat ini sebagian besar mahasiswa merasakan jika biaya kuliah di perguruan tinggi negeri masih tergolong berat. Kondisi ini membuat mereka tertekan secara mental.
“Ada survei dari project multatuli di Yogyakarta yang menunjukkan jika mayoritas responden atau sebesar 74,22 persen merasa jika biaya kuliah memberatkan. Situasi ini harus menjadi perhatian dari pemerintah sehingga bisa muncul langkah-langkah terobosan untuk mengatasinya,” ujar Huda.
Politikus PKB ini menilai perlu ada kajian untuk revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum utamanya terkait otonomi pengelolaan pendanaan.
Menurut Huda, jangan sampai otonomi pengelolaan sumber pendanaan penyelenggaraan pendidikan ini bermuara pada munculnya komersialisasi pendidikan yang memberatkan mahasiswa.
“Kami tentu tidak ingin otoritas pengelolaan sumber pendanaan ini justru memicu komersialisasi pendidikan entah itu melalui UKT atau seleksi masuk mahasiswa baru melalui jalur mandiri,” kata Huda.
Saat ini, kata Huda Kemendikbud Ristek perlu melakukan review terkait kerjasama sejumlah PTNBH dengan layanan Pinjol online.
Jika memang ternyata merugikan dan memberatkan mahasiswa maka Kemendikbudristek bisa merekomendasikan PTNBH untuk meninjau ulang kebijakan tersebut.
“Kami mendorong juga ada kajian utuk skema baru untuk meringankan beban mahasiswa yang kesulitan membayar UKT. Beberapa waktu lalu saya menolak penghentian alokasi APBN untuk dana abadi pendidikan sebesar Rp 20 triliun per tahun,” ujar Huda.
Huda berpandangan dana abadi pendidikan tetap harus diperbesar sehingga manfaatnya bisa digunakan. Salah satunya untuk meringankan UKT mahasiswa selain skema yang saat ini sudah ada.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari