jpnn.com, TANJUNG PINANG - Wakil Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan proses pengadaan barang dan jasa, baik APBN maupun APBD rentan terjadinya praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Baik itu suap maupun Operasi Tangkap Tangan (OTT) berawal dari proses pengadaan barang dan jasa.
BACA JUGA: Begini Tim KPK Susun Berkas Perkara Setinggi 2,5 Meter
"Dari 80 persen tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa," ujar Alexander Marwata dalam kegiatan sosialisasi (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau di Aula Kantor Gubernur, Tanjungpinang, Jumat (17/3).
Ditegaskan Marwata, tidak semua pengaduan masyarakat yang masuk ke KPK bisa ditindaklanjuti. Masih kata Alex, dalam penanganan perkara KPK juga punya batasan-batasannya, seperti kerugian negara harus di atas Rp 1 miliar, dan pejabatnya adalah eselon I. Namun demikian, ada pengecualian bagi Operasi Tangkap Tangan.
BACA JUGA: Forum Rektor Tegaskan Tolak Revisi UU KPK
"Kalau ditanya perkara apa yang sudah masuk dari Kepri ke KPK bidangnya berada di Pengaduan Masyarakat. Laporan ke pimpinan setelah ditetapkannya tersangka dalam satu kasus dugaan korupsi," papar Marwata.
Disebutkan Marwata, apabila ada laporan yang masuk, pihaknya tetap akan melakukan survesi kepada Pemerintah daerah, apakah itu auditor ataupun inspektoratnya. Apabila ditemukan unsur-unsur melawan hukum, dan sesuai dengan kapasitas KPK, tentu akan ditindaklanjuti.
BACA JUGA: Dugaan Korupsi Ratusan Miliar Ini Tengah Diselidiki KPK
"Kita paham, masyarkat juga khwatir banyaknya intervensi apabila perkara korupsi tangani aparat di daerah. Makanya kita proses melalui supervisi terlebih dahulu," papar Marwata.
Berangkat dari persoalan ini, Marwata mengingatkan seluruh pejabat negara di Kepri. Khusus Gubernur, Bupati/Walikota untuk memperhatikan aturan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Melalui mekanisme tersebut, praktik korupsi bisa diminimalisir.
"Dalam bekerja kami akan membagi delapan wilayah. Provinsi Kepri akan masuk dalam wilayah Sumatera nanti," jelasnya.
Salah satu contoh besar, lanjut Marwata adalah masalah pengadaan e-KTP yang sedang ditangani KPK saat ini. Adapun kerugian yang dialami negara hingga mencapai Rp 2,3 triliun. Hal tersebut terjadi karena proses pengadaannya tidak transparan dan tidak akuntabel.
"Bayangkan saja, uang sebanyak Rp2,3 triliun hanya dinikmati oleh tidak lebih dari 100 orang. Nilainya hampir sama dengan jumlah APBD Kepri. Kalau untuk mensejahterakan masyarakat, sudah banyak sekali itu seharusnya yang menikmati," papar Mantan Hakim Tipikor tersebut.(jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Coba-Coba Beri Keterangan Palsu di Sidang e-KTP!
Redaktur & Reporter : Budi