jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko mengatakan, suppy dan demand harus diperhatikan untuk menjaga stabilitas harga bawang.
"Caranya, antara lain bagaimana pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian di daerah bisa memberikan edukasi dan pemahaman tentang pentingnya mengatur keluasan lahan tanam," ujar Moeldoko di kantor DPN HKTI, Jalan Cokroaminoto 55-57, Jakarta Pusat, Selasa (9/1).
BACA JUGA: Beli Jagung Petani, Japfa Gandeng HKTI
Menurut Moeldoko, hal itu harus ditunjang oleh tersedianya database tentang lahan dan budi daya bawang merah sehingga pemerintah bisa mengarahkan dengan tepat waktu penanaman.
"Jangan sampai semua serentak menanam sehingga ketika panen terjadi oversupply dan harga bawang menjadi jatuh. Apalagi, petani kita itu masih terbiasa dengan pola ikut-ikutan. Artinya, lagi musim tanam bawang semua ikut tanam bawang atau lagi musim tanam kacang semua tanam kacang. Akibatnya sering terjadi oversupply," jelas Moeldoko.
BACA JUGA: Pertanian Butuh Regenerasi, Moeldoko Segera Hidupkan Pestani
Menurut Moeldoko, harus ada kesadaran bersama bahwa keluasan lahan yang tidak terkendali akan menyebabkan oversupply bawang merah.
Jadi, petani harus diarahkan jangan suka ikut-ikutan menanam apa yang ditanam orang lain.
BACA JUGA: Moeldoko: Santri Bisa Diandalkan untuk Sektor Pertanian
"Menurut saya, seharusnya dari satu hektare petani bisa menghasilkan 15 ton per hektare dengan harga di atas Rp 10 ribu atau Rp 11 ribu. Jika di bawah itu kemungkinan akan rugi," terang Moeldoko.
Moeldoko menambahkan, petani bawang merah masih terbiasa menanam dengan menggunakan biji hasil semai dan bukan dari biji.
Padahal, ini jelas jadi lebih mahal dan tidak efisien. Hal ini juga harus diberikan edukasi.
"Mereka tidak sabaran. Solusi untuk mengatasi masalah harga bawang ini adalah perlu ada kesadaran bersama untuk melakukan pendekatan pola tanam berbasis teknologi," tuturnya.
Dalam hal manajemen budi daya tanam, sambung Moeldoko, petani bawang belum terbiasa berorientasi pada edisiensi.
Indikatornya yaitu petani lebih suka menggunakan pupuk nonorganik dan pestisida berlebihan.
"Padahal, tata cara seperti itu akan menimbulkan inefisiensi. Sebab cara budi daya seperti itu akan merusak unsur hara sehingga dalam jangka panjang akan menimbulkan biaya tinggi (tidak efisien)," papar Moeldoko.
Moeldoko berharap petani diarahkan untuk tidak lagi menggunakan pupuk nonorganik dan pestisida secara berlebihan.
Mereka diarahkan untuk lebih bertani secara organik karena ongkos produksinya menjadi lebih murah. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bali Siap Jadi Proyek Percontohan Benih Padi M400
Redaktur & Reporter : Ragil