Jaga Tradisi dan Tak Hilangkan Budaya Nenek Moyang

Jumat, 19 September 2014 – 18:23 WIB
PASANGAN BAHAGIA: Patricia Eka Mutiara (empat dari kiri) dan Stanley Liem (lima dari kiri) bersama orang tua dan kerabat usai resepsi pernikahan. Dimas Alif/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - JIKA pernikahan diibaratkan memasuki gerbang baru, Freddy H. Istanto benar-benar mempersiapkannya. Beberapa jam menjelang resepsi, Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia itu terlihat sibuk di area Taman Sari Poolside Hotel Bumi, Surabaya. Hari itu, 14 September, bukan pernikahannya. Yang menikah adalah putri mbarep-nya, Patricia Eka Mutiara.


Laporan Rima Gusriana Harahap, Surabaya
===============================

BACA JUGA: Praktis, Ridwan Tak Perlu Lagi Digendong Masuk Mobil


Dan acara tersebut bukanlah acara pernikahan resmi mereka. Itu adalah resepsi. Mereka menyebutnya The Celebration of Love. Semacam ngundhuh mantu ala orang Jawa, tetapi ini diselenggarakan keluarga mempelai putri.

Sementara itu, keramaian mulai terlihat di area pesta. Suasana beberapa lantai di atasnya lebih lengang. Tidak banyak orang yang bicara. Hanya tangan-tangan gesit para make-up artist yang bergerak lihai merias wajah sang mempelai. Sapuan kuas bersanding mesra dengan kilatan blitz fotografer. Di kejauhan, di balik jendela kaca, tampak Suramadu membentang dan Patung Jalesveva Jayamahe menjulang.

BACA JUGA: Babah Bikes, Sepeda Custom yang Sudah Merambah Mancanegara

Ya, hari itu Patricia menikah. Putri dekan industri kreatif Universitas Ciputra tersebut menikah dengan pasangannya, warga Tionghoa keturunan Indonesia yang menetap di Belanda, Stanley Liem. Hubungan yang telah berlangsung 10 tahun itu akhirnya berlabuh juga di pelaminan.

”Saya bahagia akhirnya bisa menikahi Patricia,” ujar Stanley dengan bahasa Indonesia yang fasih. Sejak orang tuanya hijrah ke Belgia pada 1960-an, Stanley dan keluarga memang melepas kewarganegaraan Indonesianya. Meski begitu, pria kelahiran Antwerpen, 30 tahun lalu, itu tidak pernah merasa jauh dari Indonesia.

BACA JUGA: Sempat Terbebani Tradisi Prestasi Kakak Kelas

”Di Belgia dan Belanda, banyak teman saya yang dari Indonesia,” ungkap Stanley. Pertemanan itu pulalah yang akhirnya membuka jalan perkenalannya dengan Patricia. Tepatnya, melalui gereja.

”Di gereja kami kali pertama bertemu. Saat bertemu, saya langsung tertarik sama dia (Patricia, Red),” ungkap lelaki itu sambil tak henti tersenyum. Ah ya, salah satu ciri khas Stanley memang senyumnya. Stanley sang murah senyum, begitu mereka menjulukinya.

****

10 Mei 2014, suasana hening pedesaan mengiringi pemberkatan nikah kedua mempelai. Lommoye, sebuah desa tenang yang ditempuh dengan satu jam perjalanan dari Paris, menjadi pilihan. Hamparan rerumputan hijau menjadi pemandangan yang elok. Gaun putih Patricia berkibar-kibar ditiup angin musim panas utara Prancis. Ya, sungguh pernikahan impian bagi sebagian besar orang.

Entah bagaimana disebut desa, Lommoye hanya terdiri atas sebuah kastil tua dan sebuah gereja. Rumah penduduk bisa dihitung jari. Itu pun jauh dari lokasi pesta. ”Rasanya kayak camping,” ujar Freddy lantas tertawa. Ayah dua anak itu benar-benar tidak campur tangan dalam mengurusi segala persiapan acara. Urusan anak-anak, orang tua ikut saja. Begitu ujar mereka.

Domain de Mauvoisin, nama kastil itu, sebetulnya tinggal sebagian kecilnya. Tepatnya, tinggal istal kudanya. Tapi, dengan sentuhan artistik seniman Prancis, jadilah istal kuda tersebut hall yang megah untuk merayakan pernikahan. Nuansa histori yang kental tidak luput menambah eksotisme pernikahan itu.

”Kami memang mengonsep wedding on vacation,” ujar Stanley. Jadi, kata dia, semua orang mengalami perjalanan dan menganggap itu tidak berbeda dengan liburan. Pernikahan yang liburan, liburan yang pernikahan.

Persiapannya bisa ditebak. Satu tahun sebelumnya Stanley dan Patricia bak agen travel. Pasangan itu sibuk mengutak-atik internet untuk menemukan lokasi yang cocok. Kriterianya simpel. Privat, tenang, tapi tidak terlalu jauh dari bandara.

Setelah mengubek-ubek berbagai situs, pilihan lantas mengerucut ke Prancis, lalu Lommoye. Tanpa berlama-lama, mereka terbang ke Paris untuk langsung mengecek kondisi lapangan. Untunglah, masih ada sisa hari yang kosong. Sebab, tidak lama setelah mem-booking­ kastil, Domain de Mauvoisin mendadak tenar dan terus full-booked hingga akhir tahun.

Berbeda dengan banyak pernikahan di Indonesia, pernikahan di luar negeri memang menjadi kehebohan sang calon pengantin. Mulai urusan gereja, resepsi, gaun, hingga undangan, pengantin harus bekerja rodi.

Menikah di kastil yang jauh dari permukiman tentu menjadi pengalaman yang mengesankan. Beragam cerita bermunculan tentang pernikahan intim itu. Saking intimnya, semua menjadi self-service. ”Semua kami siapkan sendiri. Mengupas telur rebus untuk makan, kerja bakti membersihkan gereja, memasak, dan lain-lain,” kenang Stanley.

Selain pemberkatan gereja, di kastil megah itu dilangsungkan adat ketimuran warga Tionghoa, yakni upacara minum teh. Tentu hadir rasa yang mengesankan saat mengenang tanah leluhur di negeri nun jauh. Stanley dan Patricia tidak mau kehilangan momen tersebut. Sama halnya dengan melakukan slametan berupa tumpengan saat mereka mengawali proses pernikahan.

”Adat leluhur tetap tidak dilupakan. Slametan itu permintaan khusus oma Patricia di sini (Indonesia, Red),” ungap Freddy. Alhasil, slametan dilakukan di dua tempat, yaitu Surabaya dan Den Haag, kota tempat tinggal Patricia dan Stanley.

Sebelum menikah di Lommoyo, mempelai terlebih dahulu mengesahkan legalitas pernikahan di Voorburg, Belanda. Hal itu dilakukan karena status mereka masih berbeda warga negara. Walau sudah officially married di Belanda, Domain de Mauvoisin-lah yang dianggap lokasi sakral tempat menyatunya cinta kasih mereka.

***

Stanley Liem tidak henti-henti mengulum tersenyum. Di sisinya, berdiri perempuan yang kini resmi menjadi belahan hatinya, Patricia Eka Mutiara. Kedua mempelai lalu perlahan menuruni anak tangga. Mereka berdiri di hadapan arca-arca yang berjejer, bersiap menjadi ratu dan raja malam itu.

Untuk kali kesekian, Stanley dan Patricia menyelenggarakan resepsi pernikahan. Meski bukan yang pertama, resepsi di Taman Sari Poolside Hotel Bumi, Surabaya, itu tidak kehilangan daya tarik. Nuansa peranakan begitu terasa dengan seliweran tamu undangan berkebaya encim dan beskap Basofi-an. Ya, beskap Basofi-an adalah baju tutup pria Jawa Timuran yang pernah menjadi ikon mantan Gubernur Basofi Sudirman.

Hidangan begitu memanjakan lidah. Kikil, gado-gado, klepon, lupis, dan lain-lain. Freddy yang sejak tadi sibuk mempersiapkan acara kini berdiri tenang menyambut para tamu. Benar, ”Ini saatnya balas dendam,” bisiknya bercanda. Jika sebelumnya konsep pernikahan milik Patricia dan Stanley, kini Freddy berkuasa penuh. Dia berkarya dengan ikut terlibat dalam dekorasi dan pengonsepan acara.

Kebahagiaan terpancar di wajah separo bayanya. Diterpa cahaya lampion yang bergelantungan, Freddy ramah menyapa para undangan yang datang. Di sisi kolam, disiapkan visualisasi rumah Betawi dengan kursi tua dan sepeda onthel kuno di depannya. Ada pula sangkar burung yang bergelantungan tanpa penghuni di beberapa sisinya.

Suasana tempo dulu itu diperkuat irama keroncong yang sambung-menyambung. Meski bukan di Domain de Mauvoisin, suasana heritage tetap kental.

Suasana bertambah semarak saat muncul 10 model yang membawakan pergelaran kebaya encim karya desainer Henny Hasyim. Kebaya encim berbordir klasik itu menjadi sorotan para undangan di sela-sela menikmati suasana tempo dulu yang makin malam makin kental.

Sementara itu, di beberapa anak tangga di atas kerumunan, kedua mempelai tersenyum sambil berdiri di samping piano klasik putih. Di tempat tadi kedua orang tua menyambut mereka saat menuruni tangga arca. (*/c6/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lingkar Pinggang Jokowi Bertambah 2 Cm


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler