jpnn.com, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkuat dugaan aliran pengadaan Helikopter Augusta Westland (AW)-101 di TNI AU pada 2016 ke sejumlah pihak. Salah satunya diduga kepada mantan KSAU Marsekal (purn) Agus Supriatna sebesar Rp 17.733.600.000.
Jaksa KPK memperkuat dugaan aliran tersebut dalam surat tuntutan terdakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh.
BACA JUGA: Anggap John Irfan Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU, Jaksa Tuntut 15 Tahun Penjara
Irfan dianggap terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dengan sejumlah pihak, termasuk salah satunya Agus Supriatna.
Jaksa menyatakan Irfan, Agus, dan beberapa pihak lainnya terbukti merugikan negara sebesar Rp 738.900.000.000 terkait pengadaan Helikopter Augusta Westland (AW)-101 di TNI AU pada 2016.
BACA JUGA: KPK Sebut eks KSAU Agus Supriatna Tidak Taat Hukum dan Selalu Mangkir dari Panggilan
"Terdakwa atau orang lain atau suatu korporasi telah memperoleh sejumlah uang atau harta benda dengan secara melawan hukum," kata Jaksa Ariawan Agustiartono saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada PN Jakpus, Senin (30/1).
Jaksa menyatakan Irfan dalam pengadaan Heli AW-101 telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 183.207.870.911.
BACA JUGA: KPK Sampai Minta Bantuan TNI AU, Marsekal Agus Supriatna Harus Hadiri Sidang Korupsi Ini
Sementara Agus Supriatna yang juga menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), diduga menerima keuntungan sebesar Rp 17.733.600.000.
Menurut jaksa, uang itu disamarkan dengan istilah Dana Komando (Dako) yang diambil dari pembayaran pengadaan Heli AW-101 pada termin pertama sebesar Rp 436.689.900.000.
Irfan disebut menerima pembayaran Rp 418.956.300.000.
"Sesuai kesepakatan diambil empat persen dari keseluruhan pembayaran tahap kesatu yakni sebesar Rp 17.733.600.000 untuk dipergunakan sebagai Dana Komando yang ditujukan kepada Agus Supriatna," ungkap jaksa.
Jaksa juga melanjutkan Irfan dalam sidang sempat membantah adanya pemberian uang tersebut. Namun, jaksa menemukan alat bukti petunjuk berupa pesan singkat atau SMS pada 4 Mei 2017 di telepon genggam milik Irfan.
Menurut jaksa, pesan itu terkait reservasi penginapan gratis dari Irfan kepada Agus. Jaksa menilai bukti itu menunjukkan hubungan keduanya sedemikian dekat. Terlebih pesanan itu dibuat pada saat proses pengadaan helikopter AW-101.
"SMS tersebut menunjukkan pengadaan helikopter AW-101 tersebut tidak baik-baik saja. Berdasarkan uraian di atas maka unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan," ujar jaksa.
Menurut jaksa, Irfan dalam sidang juga mengaku pernah mengembalikan dako tersebut pada 5 September 2016.
Irfan memang menunjukkan bukti surat pernyataan terkait pengembalian dana tersebut, tetapi yang bersangkutan dianggap tidak bisa menunjukkan eksistensi keberadaan uangnya. Jaksa menilai pengakuan itu menegaskan adanya pemberian uang kepada Agus.
"Selain itu, pemberian sejumlah uang tersebut telah vooltoid diserahkan oleh terdakwa kepada pihak pemberi kerja," tutur jaksa.
Dalam tuntutannya, jaksa juga meyakini jika Irfan menguntungkan korporasi AgustaWestland sebesar USD 29.500.000 atau senilai Rp 391.616.035.000 serta perusahaan Lejardo. Pte.Ltd., sebesar USD 10.950.826 atau sekitar Rp 146.342.494.088.
Diduga perbuatan korupsi tersebut dilakukan Irfan bersama-sama Agus Supriatna dan Head of Region Southeast Asia Leonardo Helicopter Division AgustaWestland Products Lorenzo Pariani, Direktur Lejardo Pte. Ltd. Bennyanto Sutjiadji.
Kemudian Kepala Dinas Pengadaan Angkatan Udara (Kadisada AU) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) periode 2015-20 Juni 2016 Heribertus Hendi Haryoko, Kadisasa AU dan PPK periode 20 Juni 2016-2 Februari 2017 Fachri Adamy, Asisten Perencanaan dan Anggaran KSAU TNI AU periode 2015-Februari 2017 Supriyanto Basuki, dan Kepala Pemegang Kas Mabes TNI AU periode 2015-Februari 2017 Wisnu Wicaksono.
Pada Mei 2015 hingga Februari 2017, kata jaksa, Irfan dan lainnya mengatur spesifikasi teknis pengadaan helikopter angkut AW-101. Di mana, helikopter angkut AW-101 tidak memenuhi spesifikasi.
Atas praktik curang itu, Helikopter AW-101 tak bisa dipergunakan sesuai dengan peruntukannya. Pasalnya, helikopter tersebut sejatinya dibuat untuk keperluan VVIP yang spesifikasinya jauh berbeda untuk keperluan angkut militer.
"Padahal uang negara yang digunakan harus memenuhi kriteria kebutuhan, sehingga pengadaan Helikopter AW-101 dinyatakan total loss," ucap jaksa.
Seperti diketahui, jaksa meminta majelis hakim menghukum Irfan dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga membebankan pidana tambahan kepada Irfan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 177.712.972.054.
Uang pengganti itu diperhitungkan dari uang yang pernah dikembalikan Irfan ke rekening KPK sebesar Rp 31.689.290.000. Ditambah Rp 139.424.620.909 yang disita jaksa dari pembayaran termin III dan termin IV.
Serta pembayaran pembelian Helikopter dari PT Diratama Jaya Mandiri kepada AgustaWestland sebesar 29.500.000 dolar Amerika atau senilai Rp 391.616.035.000. Dari tiga item itu, totalnya adalah Rp 562.729.945.909.
Menurut jaksa, dari nilai proyek Rp 738.900.000.000 dikurangi dengan tiga item tersebut, maka Irfan harus membayar Rp 176.170.054.091 ke kas negara.
Ditambah jasa giro atau bunga yang telah ditarik dari rekening lintas tahun di Bank BNI nomor rekening 496548213 sebesar Rp 1.542.917.963.
"Jumlah keseluruhan kekurangan uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa sebesar Rp 177.712.972.054,60," kata jaksa.
Selain itu, jaksa juga menuntut majelis hakim mengabulkan penyitaan uang dari rekening PT Diratama Jaya Mandiri sebesar Rp 153.754.705.373. Uang itu diminta jaksa untuk ditampas negara.
Menurut jaksa, perbuatan Irfan terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Panggil Eks KSAU Agus Supriatna dalam Sidang Korupsi Helikopter AW-101
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi