Jalan Berbayar, Kebijakan Konyol

Oleh: Prof Tjipta Lesmana

Rabu, 25 Januari 2023 – 20:45 WIB
Prof Tjipta Lesmana. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Dalam upaya mengatasi masalah kemacetan lalu lintas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mencoba dua kebijakan: “three in one” dan “ganjil genap”. Keduanya gagal.

Peluncuran bus Transjakarta dan MRT juga tidak begitu efektif.

BACA JUGA: Iqbal: Rencana Pemberlakuan ERP Sebaiknya Dikaji Ulang

Saat ini, Pemda DKI sedang menguji kebijakan baru: jalan berbayar.

Di jalan- jalan tertentu yang selalu padat, siapa yang lewat otomatis dikenakan pajak alias harus bayar berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000.

BACA JUGA: DPRD DKI Minta Pemprov Kelola Langsung Jalan Berbayar

Kebijakan ini diberlakukan di hampir 20 ruas jalan strategis di ibu kota.

Kebijakan berbayar menyontek kebijakan di Singapura yang awalnya diejek dengan sebutan ERP, Everyday Rob People, tiap hari (pemerintah) merampok uang orang. Marah pengendara mobil, khudusnya taxi driver dan pemilik mobil.

BACA JUGA: Wow! Jalan Berbayar di Jakarta Bisa Beri Pemasukan Hingga Rp 60 Miliar Per Hari

Akan tetapi, lama kelamaan diterima juga oleh masyarakat.

Dari situ, Pemda DKI mencoba menyontek setelah mengirim tim khusus untuk mempelajari kebijakan Singapura.

Tentu saja, apa yang terjadi di Singapura tidak bisa disamakan dengan di Indonesia.

Di negara jiran, ruas jalan raya yang dikenaan ERP tidak lebih empat ruas jalan, di Jakarta hampir 20 ruas jalan! Jalan-jalan strategis.

Di Singapura, pada jalan-jalan yang dikenakan ERP disediakan jalan-jalan alternatif yang memadai.

Artinya, publik bisa dengan mudah mengambil jalan alternatif.

Bagaimana di Jakarta? Nyaris susah cari jalan alternatif, paling-paling gang-gang sempit yang rentan bertabrakan/bersenggolan dengan kendaraan lain.

Kebijakan jalan berbayar sungguh konyol dan tidak manusiawi!

Apa tujuan sesungguhnya? Jika untuk mengurangi kemacetan, pasti takkan berhasil.

Jika untuk menambah pemasukan (tax) Pemda DKI, ini bentuk “perampokan” yang tidak manusiawi dan konyol!

Semua orang sudah tahu pendapatan Pemda DKI selama ini sangat menggiurkan.

Dari PBB, pajak kendaraan bermotor dan pajak hiburan, serta reklame/iklan, jumlahnya sudah aduhai....

Dengan cara apa pun, kemacetan lalu lintas di Jakarta mustahil diatasi selama jumlah mobil dan sepeda motor tidak dibatasi.

Kementerian Keuangan kerap memberikan berbagai insentif pajak kepada mobil-mobil baru, dan menteri keuangan happy sekali melihat jumlah mobil baru melonjak.

Di banyak negara yang kami kunjungi, kebijakan impor mobil dilaksanakan secara masif!

Di Singapura, Shanghai, Tokyo, Seoul, Amsterdam, Los Angeles, Moscow, produksi dan impor mobil semua “dicekik”, sangat dibatasi.

Hanya di Indonesia, arus masuk sepeda motor dilepas seluasnya.

Dengan uang Rp 500 ribu, kita bisa bawa pulang sepeda motor, kredit 2-5 tahun.

Kalau enggak sanggup lunasi, ya lepas saja sepeda motor kepada toko pemilik.

Ketika masih menjabat gubernur DKI, Jokowi mengritik keras kebijakan produksi mobil ramah lingkungan dan hemat BBM dari Pemerintah SBY. Namun, setelah Jokowi yang jadi presiden, ia genjot produksi dan impor mobil...... konsistensi memang jarang dilakukan oleh seorang pemimpin.

Maka, melalui forum ini, kami mendesak DPRD DKI Jakarta agar membatalkan uji coba jalan berbayar. Batalkan kebijakan yang “merampok” uang rakyat dengan tujuan yang abal-abalan.

Sekali lagi, kemacetan lalu lintas hanya bisa diatasi dengan pembatasan jumlah mobil dan sepeda motor yang berlalu lalang di jalan-jalan.

Ucapan Jusuf Kalla bahwa keramaian kendaraan motor di jalan-jalan menunjukkan kemakmuran rakyat, salah, dan hanya mencerminkan kemakmuran konglomerat mobil /motor saja !!*

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler