Jangan Cueki Putusan MK soal Batas Minimal Usia Perkawinan

Kamis, 07 Maret 2019 – 18:20 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto dok JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Negara harus hadir dengan upaya strategis dan lebih masif dalam merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai batas usia anak. Di mana hasil putusannya adalah batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun.

"Perkawinan anak mengancam Ketahanan Nasional dan tidak sejalan dengan jaminan Negara dalam pemenuhan hak anak untuk tumbuh kembang yang optimal,” ujar Sekretaris Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu, Kamis (7/3).

BACA JUGA: Menteri Yohana Merasa Putusan MK jadi Hadiah Terindah

Putusan progresif ini lanjutnya, tentu merupakan kemenangan perjuangan pencegahan perkawinan anak untuk seluruh anak Indonesia. Dalam putusan ini juga mengamanahkan pemerintah bersama pembentuk undang-undang diberi waktu tiga tahun melakukan upaya untuk melaksanakan putusan tersebut.

BACA JUGA: Duh, Makin Banyak Remaja 15 Tahun Lakukan Pernikahan Dini

BACA JUGA: MUI Khawatir Putusan MK Pintu Masuk Bongkar UU Perkawinan

"Jika angka perkawinan anak terus meningkat dan dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami ancaman Ketahanan Nasional,” ujat Pribudiarta.

Senada Pribudiarta, Staf Khusus Presiden, Ruhaini mengatakan, keputusan MK membawa angin segar bagi upaya negara dalam memberikan perlindungan anak yang optimal. Di mana usia perkawinan harus disesuaikan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.

BACA JUGA: Kisah Endang, Dipaksa Menikah dengan Pria tak Dikenalnya

Indonesia diharapkan menjadi pionir untuk mencegah perkawinan anak di kalangan negara - negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Sementara Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin mengatakan bahwa perkawinan anak merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghambat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Di antaranya menghambat wajib belajar 12 tahun (pemenuhan hak anak atas pendidikan), gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan (kesehatan dan angka kematian ibu melahirkan), serta munculnya pekerja anak dan upah rendah (menurunnya ekonomi).

"Penghapusan perkawinan anak tidak hanya berpengaruh pada pencapaian SDG’s tapi juga berpengaruh untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA),” ujar Lenny.

BACA JUGA: Pacaran 5 Bulan, Siswa SD Nikahi Siswi SMP

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perkawinan anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan dimana 1 dari 4 atau 23% anak perempuan menikah pada usia anak. Setiap tahun sekitar 340.000 anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Pada 2017, persentase perkawinan anak sudah mencapai 25,17%.

"Jika dilihat dari sebaran wilayah, maka terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional," tandas Lenny. (esy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Repons Menag soal Batas Minimal Usia Pernikahan


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler