Jangan Ekploitasi Kesedihan, Banyak yang Berharap Keluarganya Selamat

Kamis, 01 Januari 2015 – 08:26 WIB
Dua jenazah korban Air Asia QZ 8501 tiba di Base Ops Pangkalan TNI AL Juanda Surabaya, Rabu (31/12). Kedua jenazah tersebut rencananya akan langsung disemayamkan di RS Bhayangkara Polda Jawa Timur untuk dilakukan identifikasi. Foto: Boy/Jawa Pos

TIM layanan psikologi keluarga korban pesawat Air Asia QZ 8501 di crisis centre yang berasal dari himpunan psikologi (Himpsi) se-Indonesia, meminta suasana kesedihan akibat musibah ini tidak dibesar-besarkan.
   
Alasannya, kondisi psikologi keluarga korban fluktuatif. Mereka harus dikuatkan agar tidak terlalu  sedih dengan keadaan ini. Informasi suasana kesedihan akan mengganggu stabilitas psikologi korban.
   
Koordinator relawan layanan psikologi korban Air Asia Margaretha menggambarkan kondisi psikologi korban. Saat ini mereka mengalami masa duka. Ada yang bisa menerima, tapi banyak juga yang berharap keluarganya selamat. Karena itu, stabilitas psikologinya naik turun. "Tim kami mendampingi mereka agar tetap stabil," katanya.
   
Ada tiga tahapan yang diterapkan, restabilisasi, rekonstruksi, dan reintegrasi. Restabiliasi merupakan cara bagaimana keluarga korban mengelola emosi mereka. Jangan sampai berteriak-teriak, menangis, atau lepas control hingga pingsan.
   
Selanjutnya rekonstruksi dimana tim membantu keluarga korban mampu menghadapi kenyataan yang ada. Sehingga mereka tidak shock dan tidak bisa mengontrol emosinya.  "Kami sedang berada di tahap restabilisasi dan rekonstruksi," jelas Retha, sapaan akrabnya.
   
Setelah dua tahapan itu terlewati, nantinya masuk reintegrasi. Yakni upaya mengembalikan psikologi keluarga korban kembali seperti semula. Hidup bersosialisasi dengan masyarakat setelah mengalami musibah.
   
Retha menegaskan, tim yang terhimpun dari puluhan psikologi se-Inonesia itu sudah bekerja sejak Minggu lalu. Mereka memberi pendampingan secara perlahan. Pendampingan psikologi bersikap persuasive. Tidak secara konvensional seperti dokter mengobati penyakit pasien.
   
"Kami harus perlahan agar mereka bisa menerima pendampingan dan masukan," ucapnya. Tidak semua orang mau didampingi psikolog. Karena itu, timnya bergerak perlahan jemput bola di ruang crisis centre.

"Bila diperlukan, baru keluarga tersebut dibawa ke ruang berbeda untuk menerima pendampingan lebih lanjut," imbuh dia.
   
Setiap manusia pasti akan mengalami masa kehilangan. Seperti yang terjadi pada keluarga korban saat ini. Mereka butuh dikuatkan secara moral. Bukan diungkap kesedihannya saja.
   
Memang, secara kondisi keluarga mulai panik sejak minggu siang. Mereka mulai reda senin pagi ketika pencarian masih berlangsung. Suasana berubah saat media menampilkan tubuh korban pesawat Air Asia QZ 8501 mengapung di selat Karimata.
   
Karena itu Retha mengimbau agar suasana kesedihan keluarga tidak dibesar-besarkan. Sehingga upaya mendampingin psikologi keluarga korban bisa maksimal.

BACA JUGA: Ahli Forensik: Baju Jenazah Jangan Langsung Dicopoti

"Hindari pengungkapan suasana sedih dan mencekam. Tonjolkan aspek positif yang memberi harapan ke depan untuk keluarga korban," ujar dia. (riq/nir)

 

BACA JUGA: Inilah Kerja Keras Tim Pencari AirAsia QZ 8501 di Lautan

BACA JUGA: Awas, Petir dan Awan Cumulonimbus di Area Pencarian

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jenazah Pramugari Ditemukan Masih Berseragam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler