Jangan Kaget Melihat Bekas Darah di Rumah Duka

Minggu, 22 Januari 2017 – 00:07 WIB
MA'SEMBA: Pengantaran jenazah di tempat terakhir dengan mengangkat peti jenazah yang diringi dendangan ritual dan loncat-loncat sebagai penghibur bagi keluarga yang ditinggalkan. Foto: YEDIDAH PAKONDO/RADAR TARAKAN/JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Di mana pun Suku Toraja berada, selalu berusaha untuk membawa adatnya ketika tengah dihadapkan dengan duka cita. Perayaan pesta kematian Suku Toraja tetap dilakukan meski mereka berada di perantauan.

Bukan untuk memamerkan budaya leluhur, tetapi perayaan yang dilakukan Suku Toraja hanya ingin menghibur diri beserta keluarga besarnya yang baru saja ditinggalkan orang terkasih.

BACA JUGA: Tugu Kuntilanak, Setujukah Anda?

YEDIDAH PAKONDO, Tarakan

Ketika Anda berkunjung di pemakaman Suku Toraja yang berada di perantauan, jangan kaget ketika melihat bekas darah yang ada di sekitar kediaman rumah duka. Itu adalah darah kerbau yang muncrat saat disembelih.

BACA JUGA: Dua Anak Kuliah, Tentara Nyambi jadi Kusir Delman

Juga jangan heran melihat kunjungan tamu yang turut berbela sungkawa yang lama, silih berganti.

Dan biasanya keluarga yang ditinggakan tidak akan pernah berpindah tempat dan hanya duduk dekat jenazah saja hingga prosesi selesai.

BACA JUGA: Bripda Nabila, Menembak Membelakangi Sasaran, Dor!

Pada pelaksanaan pesta kematian di perantauan seperti di Tarakan, Kalimantan Utara, jenazah sangat jarang langsung dimakamkan begitu hari saat meninggal.

Karena pihak keluarga yang berduka masih perlu menunggu sejumlah sanak keluarga yang berada di daerah lain untuk datang hingga dapat dilanjutkan prosesi pemakaman.

Menurut peraturan dari pihak rumah sakit dan pemerintah, masyarakat Toraja jika di perantauan paling lama 4 hari jenazah dapat disemayamkan di rumah duka.

Namun, terkadang budaya Suku Toraja yang harus menunggu kedatangan keluarga dari luar daerah bisa sampai melebihi 4 hari, setelah itu baru akan dilaksanakan prosesi pemakaman.

“Biasanya kami menunggu keluarga dulu baru dapat melakukan pemakaman,” ungkap Ruben Ruba’ (63), salah seorang masyarakat Suku Toraja yang berada di Kota Tarakan.

Selama jenazah disemayamkan di rumah duka, Suku Toraja di perantauan biasanya melakukan kegiatan yang tentunya dilakukan dengan budaya adat Toraja seperti pemotongan kerbau dan babi.

Pemotongan kerbau yang dilakukan pada masyarakat Toraja di perantauan sangat berbeda dengan adat yang dilakukan di tanah Toraja.

Pada kegiatan pemakaman masyarakat Toraja yang berada di perantauan, pemotongan kerbau tidak menjadi suatu keharusan.

Pemotongan kerbau, hanya dilakukan pada keluarga yang dianggap mampu untuk melakukan pesta tersebut.

“Kalau ada (kerbau) dipotong, kalau tidak ada tidak dipaksa juga,” katanya.

Untuk membayar seluruh kerbau yang akan digunakan dalam perayaan pesta kematian, Suku Toraja diperantauan tidak membebankan seluruh biaya kepada 1 keluarga yang berduka saja.

Namun, pelaksanaan pemotongan kerbau tersebut juga dibantu dari uluran tangan seluruh keluarga yang dekat dengan keluarga yang sedang berduka. Pemotongan kerbau juga dilaksanakan atas kesepakatan keluarga lebih dahulu.

Diketahui, harga kerbau yang ada di Tana Toraja lebih murah dibandingkan dengan harga kerbau yang ada di Kota Tarakan.

Hal tersebut karena persediaan kerbau yang ada di Tana Toraja lebih banyak, dibanding persediaan kerbau yang ada di Kota Tarakan yang sangat jarang untuk ditemui.

Untuk harga kerbau berukuran kecil di Kota Tarakan yaitu berkisar Rp 14 juta, sedangkan untuk kerbau yang berukuran besar harganya Rp 24 juta.

Selain kerbau, babi juga menjadi pilihan masyarakat Toraja dalam melaksanakan pesta kematian. Pada pelaksaannya, pemotongan babi juga tidak diutamakan dalam pelaksanaan pesta kematian suku Toraja di perantauan.

Harga babi yang ada di Kota Tarakan mencapai Rp 1 juta hingga Rp 2 juta, tergantung ukuran.

Pada perayaan pesta kematian suku Toraja juga ditemukan acara ma’ badong yang biasanya dilakukan oleh kaum lelaki.

Para lelaki dikumpul kemudian bergandeng tangan dan membentuk lingkaran, setelah itu mereka menyanyi bersama-sama dan saling sahut menyaut.

Ma’ badong, merupakan nyanyian penghiburan yang dilakukan oleh suku Toraja untuk menghibur keluarga yang sedang berduka.

“Biasanya, kalau terjadi kedukaan hanya perempuan yang banyak menangis. Namun, bagi kami kaum laki-laki sangat sulit untuk mengeluarkan air mata. Nah, ma’ badong inilah yang menjadi simbol tangisan kami, sekaligus sebagai penghiburan untuk keluarga yang sedang berduka,” ujarnya.

Selain itu, pada pemakaman Suku Toraja biasanya disimbolkan dengan pemukulan gong yang menandakan bahwa adanya kedukaan yang terjadi di kawasan tersebut.

Selain itu, pemukulan gong juga menandakan selamat datang bagi tamu yang ingin datang melayat di rumah kedukaan.

Jika pada kepercayaan Aluk to dolo (agama Suku Toraja di zaman dahulu), pemukulan gong hanya dilakukan pada perayaan pesta kematian yang memotong kerbau lebih dari tujuh ekor.

Namun, seiring berkembangnya zaman, pemukulan gong sudah dapat dilakukan walaupun kerbau yang dipotong tidak berjumlah tujuh ekor. Hal ini karena sudah banyak warga suku Toraja yang menganut Agama Kristen.

“Kepercayaan dulu, kalau tujuh ekor (kerbau) baru bisa dipukul gongnya. Tapi kalau di bawah tujuh ekor, tidak boleh memukul gong,” tuturnya.

Kegiatan pesta kematian dari Tana Toraja yang diterapkan di daerah lain saat ini bukanlah menjadi masalah. Warga setempat pun menghormatinya.

Hal ini karena pelaksanaan perayaan pesta kematian bagi Suku Toraja merupakan suatu hal yang sudah seharusnya dilakukan walaupun sedang berada di perantauan. Asalkan pelaksanaan perayaan pesta kematiannya sudah atas seizin pemerintah daerah setempat.

“Harus ada izin dari pemerintah dalam pelaksanaannya, karena negara ini di bawah pimpinan pemerintah,” jelasnya, seperti diberitakan Radar Tarakan (Jawa Pos Group).

Setelah seluruh kegiatan selama disemayamkan jenazah di rumah duka, tibalah waktunya untuk melakukan pengantaran jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.

Sekali lagi, pada kegiatan pesta pemakaman suku Toraja, pengantaran jenazah menuju pemakaman dilakukan oleh banyak orang yang dilakukan seperti konvoi di jalan-jalan.

Mulai dari kendaraan roda 2 hingga roda 4 pasti akan memadati jalanan hingga tiba di lokasi pemakaman.

Ada lagi yang unik pada pelaksanaan pemakaman suku Toraja diperantauan, yaitu mengangkat peti jenazah yang diiringi dengan dendangan ritual dan loncat-loncatan dari para pengangkat peti. Hal ini disebut dengan ma’semba’.

Ma’semba’ dilakukan juga sebagai penghiburan bagi para keluarga yang berduka agar tidak larut dalam kesedihan.

Sesampainya di penguburan, Suku Toraja di perantauan mengantarkan jenazah menuju patane atau rumah peristirahatan terakhir.

Pembangunan patane dilakukan untuk menghemat biaya dan untuk menghemat tenaga bagi para keluarga Suku Toraja yang berada di perantauan.

“Selain itu, patane juga hemat dalam penggunaan tanah. Karena jenazah dikumpul menjadi satu di dalam suatu bangunan,” pungkas Ruben Ruba’. (nri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Luar Biasa, Mengharukan, Setia Dampingi Keluarga Pasien


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler