Jangan Menafikan SBY

Kamis, 01 Mei 2014 – 00:21 WIB

SABTU, 5 April, tepat tengah hari,  saya berada di Sidoarjo, Jawa Timur. Udara panas dan gerah. Saya menelusuri jalanan yang dipadati oleh pendukung Partai Demokrat menuju stadion kota yang sedang berlangsung kampanye terbuka. Itu adalah hari terakhir kampanye, dan esoknya adalah hari pertama masa tenang.

Saya sedang berada di tengah kerumunan pendukung Dahlan Iskan –jangan lupa bahwa Konvensi Capres Demokrat belum selesai- dan keyakinan mereka yang besar terlihat meletup-letup. Beberapa pemuda membawa papan gambar setinggi dua belas kaki dengan nama Dahlan Iskan terpampang dalam huruf besar yang dicetak tebal-tebal.

BACA JUGA: Kangen Jamanku? Nostalgia Indonesia Era Suharto

Namun di tempat lain, pendukung partai terlihat semrawut dan tak bergairah. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil: banyak yang berjongkok di depan emperan toko dan di bawah papan reklame untuk menghindari sengatan sinar matahari siang. Sekalipun ada parkir mobil di stadion, masih banyak bus dan angkot terparkir sembarangan di jalanan.

Sebelumnya, saya telah mengikuti kampanye yang sangat enerjik, yang tampak dari wajah penuh semangat yang tak sedikitpun tergurat rasa lelah dari capres PDI-P, Joko Widodo. Jokowi tengah menyisir jantung kota Nahdlatul Ulama, dimulai dari Banyuwangi hingga ke Surabaya, Dibandingkan dengan kampanye partai penguasa, suasananya betul-betul berbeda.

BACA JUGA: Pelajaran Bagi PDIP

Namun, walaupun saya pernah mengikuti kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan timnya pada dua pemilu sebelumnya, saya tidak bisa menolak untuk merasakan momen bersejarah ini: kampanye terakhirnya sebagai 'RI1'. Beberapa jurnalis sibuk merekam kampanye calon-calon yang menduduki tangga atas dalam survey. Sementara saya lebih tertarik untuk mengikuti sebuah era yang sebentar lagi berakhir. Selain itu, saya ingin mendengar sekali lagi Sang Jenderal berorasi.

Persiapan di stadion sangat mewah. Setelah melihat kampanye partai oposisi sebelum ini, sangat sulit untuk tidak melihat perbedaannya yang mencolok pada tata stadion yang ekstensif menggunakan bendera dan spanduk, belum lagi layar video yang besar seukuran panggung. Ini event yang sangat didanai habis-habisan.

BACA JUGA: Jangan Golput

Layar jumbo di panggung menayangkan pencapaian SBY dalam sepuluh tahun pemerintahan dan program-programnya di masa depan. Ketika story-line tengah mencapai klimaks, SBY muncul di atas panggung. Dia berdiri di barisan terdepan didampingi istri dan anaknya Edhie Baskoro (Ibas) dan barisan pendukung yang memakai baju biru.

Saya siap kecewa. Namun setelah pesan video bombastis seperti itu, saya seperti diberi kejutan. Ketika suara sang Jenderal terdengar parau, ada gairah yang nyata dalam bahasanya.

Apalagi  saya melihat bahwa orang-orang terlihat mendengarkan dengan seksama. Mereka mungkin tidak menyukai partainya, namun sangat jelas sosok SBY dihormati oleh mereka. Memang benar, suasana hati terkadang membuat orang-orang terpana ketika melihat aura Pak SBY.

Ketika keluar dari stadion, saya dikejutkan oleh dua perbedaan yang mencolok: partai Demokrat sangat lelah dan tak bergairah sementara Pak SBY meskipun sepuluh tahun memegang kendali, tampaknya lebih bersemangat dan masih mau terus memegang Indonesia.

Tentu saja kita tahu bahwa Partai Demokrat sangat di bawah performa (dari angka 20.85% di tahun 2009 menjadi 9.43% di tahun 2014) dalam pemilihan legislatif yang membuat banyak pendukung partai putus asa.

Sementara banyak koleganya dari perusahaan terkemuka yang mendorongnya untuk menyerah, terutama Prabowo Subianto, saya sebenarnya terkejut oleh keputusannya untuk tampil sendirian dan mengajukan calon presidennya sendiri.

Banyak dari media (termasuk saya) merasa bersalah dengan gampang menepikan Presiden SBY. Karena bagi kami pengaruhnya sudah berakhir – tidak berguna dan tiada kepentingan lagi.

Namun penampilannya di Sidoarjo menunjukkan bahwa ia masih mengincar peran aktif di masa depan Indonesia. Sebagai permulaan, ia menghabiskan berminggu-minggu dan hitungan bulan sebelum pemilu (bahkan ia melakukan 'blusukan' di Jakarta sebanding dengan yang dilakukan Jokowi) menyapa rakyat, dan ini jelas menegaskan kembali sosoknya.

Saya tertarik ingin melihat bagaimana Presiden Susilo akan mengakhiri masa jabatannya. Mereka yang berpikiran bahwa ia hanya akan duduk dan memperhatikan, harus segera sadar bahwa SBY masih sangat ikut berperan dalam permainan.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Peran Anggota DPR


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler