'Kangen Jamanku?' Nostalgia Indonesia Era Suharto

Rabu, 23 April 2014 – 00:39 WIB

SUASANA semarak masih membekas ketika pemilu legislatif digelar minggu lalu. Para pakar masih merenungkan "mengapa" dan "bagaimana" hasil perolehan suaranya.

Kita semua menyepakati bahwa meski –tidak ada partai yang menang mutlak- demokrasi Indonesia masih rentan.

BACA JUGA: Pelajaran Bagi PDIP

Sementara kita menunggu hasil resmi pada tanggal 7 Mei (meskipun cukup jelas bahwa oposisi PDI-P memenangkan suara mayoritas) dan partai-partai politik sedang membangun koalisi, saya ingin berbagi pengamatan saya selama terjun ke masyarakat dalam musim kampanye terbuka.

Satu hal yang sangat mengejutkan saya adalah nostalgia era Suharto yang menjalar di masyarakat, terutama di daerah pedesaan.

BACA JUGA: Jangan Golput

Saya sungguh terkesima dengan banyak orang mengenakan kaos bergambar Jenderal mesem sembari melambaikan tangan, bertuliskan: "Penak Jamanku To?

Orang asing mungkin menganggap hal ini ganjil: bukankah "Orde Baru" Suharto telah meninggalkan warisan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia? Bukankah Indonesia justru bangkit setelah melengserkannya di tahun 1998?

BACA JUGA: Peran Anggota DPR

Bagaimana mungkin mereka merindukannya?

Nah, untuk satu hal ini seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, pasca-Reformasi belum menjadi masa yang baik bagi setengah masyarakat Indonesia. Korupsi belum mereda. Birokrasi semakin memburuk. Kompetisi pencarian pekerjaan dan sumber daya manusia semakin meningkat.

Tentu saja, kebebasan warga negara dan kebebasan politik terbuka lebar. Ini adalah prestasi yang nyata tetapi kurangnya keadilan sosial ekonomi yang merata membuka jurang kehancuran.

Lebih lagi, Indonesia juga merindukan apa yang mereka anggap sebagai era "kepemimpinan yang tegas". Beberapa kebijakan "flip-flop" yang dikeluarkan pemerintah sekarang jelas berdampak pada keluarga di pedesaan, karena yang dilihat setiap hari adalah harga, dari harga bawang hingga beras dan daging yang tak terkendali.

Semua orang sudah tahu, perputaran yang demikian bukan lagi pertanda Era Suharto adalah yang terbaik.

Banyak kegagalan masa lalu Suharto (dan itu sangat banyak), namun Orde Baru membuat Indonesia mengecap kestabilan dan kemajuan yang berarti. Setelah menjadi presiden pada tahun 1967, Soeharto berhasil menurunkan angka kemiskinan di Indonesia dari hampir 60% menjadi hanya 13% sebelum krisis ekonomi melanda pada tahun 1997. Pada saat yang sama, akses kesehatan dan pendidikan meningkat secara signifikan.

Hiperinflasi – 660% di tahun 1966 berkurang menjadi 19% pada tahun 1969.

Suharto--yang mengontrol ekonomi--melindungi rakyat Indonesia dari ekses terburuk kapitalisme. Hal ini tidak terjadi dalam demokrasi dan mungkin karena itulah mengapa rakyat Indonesia merindukannya, meski bagian dari kontrolnya mempersulit ekonomi Indonesia di kemudian hari.

Ini mengherankan karena Golkar, di bawah kendali raja bisnis Aburizal Bakrie telah berusaha keras untuk memanfaatkan "Sindrom Amat Rindu Soeharto" (SARS). Partai ini menggunakan gambar Suharto dimana-mana dan bahkan mengajak serta putri Suharto, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) dan Siti Hediati Hariyadi (Titik) untuk berkampanye bersama.

Dan ternyata ini berhasil. Golkar diproyeksikan menang 14% dari suara rakyat, yang lebih kurang merupakan status quo bagi mereka.

Perolehan suara  ini menempatkan mereka di posisi kedua sekaligus pembuktian bahwa sejarah bisnis kontroversial Bakrie tidak memengaruhi kejayaan Golkar.

Ini bisa menjadi tanda bahwa rakyat Indonesia tidak melihat peristiwa yang telah berlalu. Atau lebih tepatnya, bahwa penduduk perkotaan tidak mudah memaafkan atau melupakan penyalahgunaan kekuasaan dan demokrasi yang terbatasi pada saat Suharto berkuasa.

Namun satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah prestasi Suharto.

Baik dan buruknya, Indonesia saat ini adalah hasil dari tangannya. Entah Anda membencinya atau mencintainya, Anda tidak bisa mengabaikan warisannya.

Meski demikian, hasil suara pemilihan legislatif lalu juga memunculkan fakta bahwa sementara rakyat Indonesia merindukan stabilitas dan keamanan 'Orde Baru' (Prabowo memiliki kesamaan yang mendekati), mereka juga tidak akan memberi kesempatan bagi penguasa yang akan mengembalikan mereka di era tersebut.

Tapi akankah pemimpin masa depan dan pengikut mereka akan ingat pepatah Jawa yang sering dikutip Soeharto: "Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh". Yang artinya "jangan mudah terkesan, jangan mudah terkejut dan jangan sombong"?[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilu yang Membosankan?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler