jpnn.com - SURABAYA - Backlog atau kekurangan suplai perumahan sederhana di Jawa Timur (Jatim) diperkirakan menyentuh 300 ribu unit. Oleh karena itu pemerintah provinsi (Pemprov) terus mendorong agar angka tersebut bisa ditekan.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang Jawa Timur Gentur Prihantono mengatakan, masih tingginya angka backlog itu dipicu sejumlah persoalan. Untuk menekan backlog tersebut, jumlah rumah yang sudah terbangun mencapai 24 ribu unit.
BACA JUGA: Pembangunan Infrastruktur Bakal Melaju Pesat 2015
"Memang angka tersebut masih jauh dari kebutuhan. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti harga bahan bangunan, kesulitan developer mencari tanah, hingga proses perizinan yang harus diurus oleh developer ke masing-masing Pemda," katanya.
Walaupun pengembang sudah memiliki tanah, lanjut dia, tetap harus memiliki izin untuk membangun perumahan.
BACA JUGA: Tolak Akuisisi Bank BTN
Khusus proses perizinan, lanjut dia, merupakan kewenangan di tiap-tiap pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan pihaknya hanya bisa mendorong dari sisi regulasi.
"Kami memiliki tim percepatan pembangunan perumahan yang dipimpin oleh wakil gubernur. Tim ini juga memberitahui bupati maupun walikota untuk membantu menekan angka backlog," ujarnya
BACA JUGA: Menkeu Tetap Tagih Dividen Freeport Rp 1,5 T
Dia mengakui proses perizinan itu berperan yang besar dalam mendorong pembangunan rumah sederhana. Dia mengatakan, proses perizinan untuk mendapatkan sertifikat disamakan antara rumah sederhana dan mewah.
"Nah ini tidak seimbang. Termasuk soal kebutuhan listrik dan air tiap kepala keluarga berbeda. Semestinya menggunakan pendekatan khusus," tuturnya.
Sebelumnya, Mantan Ketua DPD Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Jatim Nur Hadi mengatakan perlu ada solusi untuk mendorong pertumbuhan rumah sederhana.
Salah satunya dengan menerapkan sistem zonasi yang dikhususkan untuk area rumah sederhana. Sebab, selama ini kebanyakan pembangunan rumah sederhana berada di daerah yang jauh dari pusat kota sehingga masyarakat enggan untuk membeli di daerah tersebut.
"Ada yang sampai 40 km dari pusat kota. Tentu ini tidak menarik bagi calon pembeli. Makanya perlu zonasi, misalnya di kawasan rumah komersial harus disediakan 5-10 persen untuk perumahan sederhana," ujarnya.
Secara nasional, kebutuhan rumah sederhana itu tidak diikuti dengan anggaran yang memadai. Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dianggarkan sebanyak Rp 3 triliun. Anggaran ini turun dari sebelumnya yang Rp 6 triliun. (res/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Proyek Geothermal Tersendat, Dahlan Iskan Ancam Sanksi Pertamina-PLN
Redaktur : Tim Redaksi