Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang

Senin, 02 Maret 2009 – 07:06 WIB

KITA seolah-olah telah keluar dari “nasionalisme malu-malu, ketika Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf “JK” Kalla mengomentari wacana duet kepemimpinan nasional dari Jawa dan luar Jawa pada Pilpres 2009Wajar tapi tidak mutlak, kata JK

BACA JUGA: Golkar Bersatu dan Demokratis, Persepsi atau Realitas?

“Kepemimpinan itu soal kapabilitas dan elektabilitas
Siapa pun yang muncul tak masalah."

Ucapan JK yang ditirukan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Izzul Muslimin setelah bertemu Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (24/2), lalu menyinggung kemenangan Barack Obama sebagai Presiden ke-44 Amerika Serikat

BACA JUGA: Propinsi Tapanuli: Gugat Mindset Kolonial

Barack Obama mungkin sebelumnya tidak mungkin, tapi sekarang menjadi sesuatu yang mungkin, karena king makernya adalah rakyat.

Kita yang bukan orang Amerika pun lalu mencoba membuat konfigurasi duet capres-cawapres menjelang Pipres 2009
Duet pertama adalah JK dan Hidayat Nurwahid, jelas ini NonJawa dan Jawa

BACA JUGA: Ketika Ketua DPRD Tewas di Medan

Duet kedua, SBY-Akbar Tandjung, hanya dibalik menjadi Jawa-NonJawaLalu, Megawati-Srisultan HB X, wah ini Jawa dan Jawa, meski di tubuh Mega mengalir darah Bengkulu dan Bali.

Duet di atas hanya pengandaian, karena semuanya akan pasti setelah Pemilu DPRBahkan, masih ada kemungkinan duet lainMisalnya, Prabowo dengan Rizal Ramli, yang Jawa-NonJawa, atau Wiranto dengan tokoh asal luar Jawa, seperti Din Syamsudin atau tokoh lainnya.

Jika dianalisis, ada beberapa alasan mengapa Obama yang berkulit hitam bisa menjadi presiden AmerikaNegeri itu memang sangat multikulkturalis, karena warganya berasal dari kaum migran Eropa, Arab, Afrika bahkan ChinaAnutan agama juga beragamDua faktor itu bukan kebetulan juga ditemukan di Indonesia, yang kata orang juga melting pot bagi berbagai etnik, ras dan religi.

Hanya saja dalam tingkat pendapatan per kapita, Inonesia masih kalah jauh, padahal aspek ini penting dalam perwujudan demokrasiJika masih banyak rakyat yang bergumul dengan kebutuhan sandang, pangan dan papan, fokus dan orientasi untuk peduli kepada politik, misalnya, siapa duet pemimpin yang ideal apakah faktor Jawa-NonJawa masih relevan, atau belum terlalu meyakinkan untuk bersikap demokratis secara tulen.

Dalam doktrin kita memang sudah meyakinkanAda sejarah Sumpah Pemuda, doktrin NKRI bahkan juga lagu-lagu perjuangan sepeti “Dari Barat Sampai ke Timur” hingga “Padamu Negeri” dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang di masa kanak-kanak dulu dengan menyanyikannya saja sudah mendirikan bulu tengkuk.

Dalam praktek pun sebetulnya sudah terujiBerbagai gerakan sepratisme akhirnya padam, karena rakyat tidak berkenanSebutlah, kisah DI-TII, GAM, PRRI, Permesta hingga RMS dan OPMDua terakhir ini pun hanya didukung segelintir elit saja, itupun karena dikocok-kocok elit yang berada di luar negeri, dan relatif sudah padam.

Jika demikian, mengapa sebagai negeri yang katanya melting pot tak meyakinkan untuk menampilkan capres semacam Obama di Indonesia? Padahal, JK sudah mencoba mengkritisi “mitos” politik itu.

Melting Pot

Memang, lebih awal lagi, Sultan HB X sudah membuka “kotak pandora” itu pada Oktober 2008, saat mendeklarasikan drinya sebagai calon presiden“Jika saya membuka festival kebudayaan di Papua atau Sumatera, tak mungkin saya memalu gong Jawa,” katanya, dalam suatu acara SCTVBegitulah, seorang Raja Jawa berkata di mimbar publik.

Sultan pun lebih memilih “Sumpah Pemuda”, satu bangsa, satu Tanah Air dan satu bahasa, ketimbang Sumpah PalapaJika yang pertama bersemangat kebhinneka-tunggalikaan, yang terakhir adalah sentralisme Gajah Mada yang menghegemoni NusantaraBahkan menurut Sultan, suatu fenomena “Jawanisasi” ala rezim Orde Baru.

Tapi dalam posisi itu, Sultan tetap sebagai presidenBukan sedang mendukung seorang tokoh yang bukan Jawa, yang mungkin akan lebih mengagetkanMisalnya, Sultan mendukung Rizal Ramli dan Akbar Tandjung yang berasal dari Sumatera menjadi presiden, atau sekaligus JK sajaHak Sultan mendeklarasikan diri sebagai kandidat, tentu selaras saja dengan nasionalisme Indonesia dan demokrasi.

Saya ingat kepada teori Melting Pot ala Anglo ConformityKira-kita, sebuah bangsa yang heterogen, baik etnik dan agama, haruslah membaur ke etnik atau agama mayoritasMembaur tak berarti menghilangkan identitasnyaTapi hanya memakai identitas untuk dirinya sendiri, dan tidak mengekspresikannya secara aktifMenjadi calon presiden? Sudah pasti tak bisa, logikanya!

Untunglah, masih ada Melting Pot versi ethnic synthesisHe-he-he, sepertinya masyarakat dianggap benih yang bisa direkayasa secara teknologiKita pun teringat kepada karet sintetis, rekyasa dari karet alam, walau bandingan ini tak persis 100%.

Maksudnya, keragaman yang ada di sebuah bangsa membentuk melting pot baru dengan memetik sebagian unsur kultural dari masing-masing identitas yang adaLalu, muncullah identitas baruBentuknya, rada sinkretis secara ekstrim, tapi boleh juga sejenis hibrida, tapi tidak hanya dua unsur tapi banyak unsur sebagai representasi keragaman bangsa tersebut.

Namun melting pot berupa kebudayaan multukulturalistis, barangkali, lebih cocok dengan IndonesiaTeori ini menggambarkan bahwa heterogenitas yang ada tak menghalangi pihak manapun untuk mengungkapkan identitasnya, termasuk di pentas politik, tak terkecuali dalam menjagokan calon persiden.

Wah, yang terakhir ini menarik, dan munculnya fakta tokoh-tokoh yang disebut-sebut mencalonkan diri sebagai kandidat presiden, sangat menggembirakanItulah yang terjadi hari-hari ini di Indonesia, meskipun soal keterpilihan adalah merupakan urusan dan hak rakyat, para pemilih.

Teori yang dikategorikan oleh Ricardo LGarcia  (1982) ditimbanya dari kemajemukan masyarakat di Amerika dan negara lain, yang kebetulan cocok dengan melting pot bernama IndonesiaNamun sebelum telanjur tenggelam ke lubuk euphoria, masih ada relitas politik, bahwa masyarakat cenderung memilih pemimpin yang berasal dari kalangan merekaYang mayoritas selalu saja memilih dari kalangan mereka, dan itu demokratis saja adanya, bukan? Jika rakyat mayoritas atau mayoritas pemilih tetap bersikukuh memilih capres Anu dan bukan capres Polan, mau apa lagi?  

Regulasi politik yang tidak deskriminatif saja kelihatannya tidak cukup, tanpa sokongan pencerdasan dan pencerahan politikSemakin meyakinkan pula setelah dibarengi tingkat pendapatan yang memadaiApa boleh buat, masih panjang jalan yang ditempuh**

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bermain Yoyo versus Bercermin Diri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler