jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid mengatakan sejak awal para pimpinan lembaga tinggi negara itu memang memposisikan diri sebagai perekat atau pemersatu, meskipun tugas tersebut bukan yang utama.
Ini disampaikan Jazilul dalam diskusi Empat Pilar bertajuk "Meningkatkan Kepercayaan Publik pada MPR sebagai Perekat Kebangsaan" di Media Center MPR/DPR RI, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Jumat (24/7).
BACA JUGA: Yunarto Wijaya: Peran Pimpinan MPR RI Penting di Tengah Krisis Identitas
Mulanya, Jazilul mengapresiasi paparan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya yang lebih dulu berbicara dalam diskusi tersebut. Yunarto menilai MPR saat ini krisis identitas di tengah keterbatasan otoritas.
Penilaian itu didasarkan pada analisis, berapa besar publik yang mengerti perbedaan MPR sekarang dengan dahulu? Berapa banyak masyarakat yang mengerti apa perbedaan MPR dengan DPR.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Amien Rais Curhat Blak-blakan, KKSB Kibar Merah Putih, Ampun Pak Presiden
Apalagi otoritas yang dimiliki lembaga ini tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat.
"Pertama tentu saya mengapresiasi apa yang tadi dipaparkan oleh Mas Yunarto dan juga dukungan publik kepada MPR, meskipun kata Mas Yunarto publik tidak mengerti MPR," ujar Jazilul.
BACA JUGA: Jazilul Fawaid: Alhamdulillah, Ety Toyyib Pulang Setelah Ditebus Rp 15,5 Miliar
Politkus PKB ini juga menjawab pertanyaan Friederich Batari selaku moderator, apakah konfigurasi 10 pimpinan MPR yang ada sekarang mampu menciptakan situasi politik yang kondusif.
"Saya ingin sekaligus menjawab pertanyaan moderator, bahwa MPR ini memang sedari awal memposisikan diri sebagai perekat sehingga program pertama MPR di luar konstitusi itu silaturahmi dengan semua tokoh-tokoh bangsa ini," jelas Jazilul.
Legislator asal Jawa Timur ini juga sependapat dengan Yunarto, soal peran pimpinan MPR punya peran lebih penting bahkan dibanding pimpinan DPR RI yang lebih rentan terhadap kritik. MPR juga dinilai lebih kecil konflik kepentingannya.
"Saya membenarkan apa yang disebut oleh Mas Yunarto, karena sesuai dengan penelitian saya, bahwa iklim di DPR berbeda dengan iklim di MPR. Dengan sembilan fraksi dan kelompok DPD masuk di Pimpinan MPR, itu semakin membuat iklim organisasi ini lebih adem," jelas Jazilul.
Dia juga berbicara soal tesisnya mengenai kepemimpinan kolektif kolegial. Jazilul mengatakan, di semua lembaga negara selain presiden, kepemimpinannya bersifat kolektif kolegial. Hal paling berpengaruh pada konsep adalah iklim organisasi.
Hal itu pula menurut Jazilul, yang membedakan kepemimpinan di MPR dengan DPR. "Saya membenarkan apa yang disebut oleh Mas Yunarto, karena sesuai dengan penelitian saya, bahwa iklim di DPR berbeda dengan iklim di MPR," lanjutnya.
Jazilul juga mengamini bahwa terkait kinerja, MPR RI memang tidak bekerja pada ruang-ruang yang bersentuhan langsung dengan kebijakan publik, sehingga tidak memiliki efek terhadap pandangan yang negatif terhadap MPR secara kelembagaan.
Selain itu struktur kepemimpinan yang mengakomodir seluruh fraksi dan kelompok DPD, dalam mengambil keputusan MPR mengedepankan musyawarah dan mufakat, sehingga apa yang diputuskan tidak menjadikan polemik.
"Meskipun terkait dengan pandemi kami pernah juga di-bully karena ada konser amal. Meskipun itu bukan tugas konstitusi, itu tugas untuk merekatkan karena ketika itu banyak yang mengadu ke MPR, ada ojek, guru-guru, macam-macam yang memang membutuhkan bantuan," jelas Jazilul.
Pihaknya menegaskan untuk konser amal tersebut, ketika itu MPR memang menyuarakan kegotongroyongan itu adalah harga mutlak yang harus diambil ketika pandemi.
"Seperti halnya menghadapi perang, tanpa kegotongroyongan maka akan porak-poranda," pungkasnya.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam